Abstract

Abstract

Domestic violence (DV) is a serious problem. Domestic violence can occur in various forms, including physical, psychological, sexual, and economic. This study discusses legal protection for victims of domestic violence (DV) in Indonesia, using a sociological analysis approach and its legal implications. Although there is Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence (UU PKDRT), its implementation and enforcement still encounter various obstacles. This study highlights the factors that influence the effectiveness of legal protection for victims of domestic violence, including sociological aspects that influence public perception of domestic violence, stigma against victims, and the role of law enforcement institutions. Through qualitative analysis methods, this study reveals that legal protection for victims of domestic violence is not optimal due to various obstacles such as lack of understanding of law enforcement officers, minimal social support, and cultural pressures that often prevent victims from reporting cases. The role of family law in handling domestic violence includes prevention, handling, and recovery. Therefore, the government needs to increase awareness and strengthen legal protection for victims of domestic violence, as well as increase education about domestic violence in the community.

Keywords: Domestic violence (KDRT), Causal factors, Impact, Legal protection

 

Abstrak

Tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah serius. KDRT dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Penelitian ini membahas perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia, dengan pendekatan analisis sosiologis dan implikasi hukumnya. Meskipun telah terdapat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), implementasi dan penegakannya masih menemui berbagai kendala. Penelitian ini menyoroti faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas perlindungan hukum bagi korban KDRT, termasuk aspek sosiologis yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap KDRT, stigma terhadap korban, dan peran institusi penegak hukum. Melalui metode analisis kualitatif, penelitian ini mengungkapkan bahwa perlindungan hukum terhadap korban KDRT belum optimal karena berbagai hambatan seperti kurangnya pemahaman aparat penegak hukum, minimnya dukungan sosial, serta tekanan budaya yang sering menghambat korban untuk melaporkan kasus. Peran hukum keluarga dalam penanganan KDRT meliputi pencegahan, penanganan, dan pemulihan. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kesadaran dan memperkuat perlindungan hukum terhadap korban KDRT, serta meningkatkan edukasi tentang tindak kekerasan di dalam rumah tangga di Masyarakat.

Kata Kunci: Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Faktor penyebab, Dampak, Perlindungan hukum

Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga : Analisis Sosiologis dan Implikasi Hukum

Nida Fitriani Ananta, Aji Mulyana, Mia Amalia

Fakultas Hukum, Universitas Suryakancana

Surel Koresponden: nidafitrianiananta@gmail.com

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan unit terkecil dalam Masyarakat yang memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan sikap individu. Keluarga juga diharapkan menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh anggota keluarga. Namun kenyataannya, masih banyak kasus tindak kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga yang memengaruhi keharmonisan keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi dalam beberapa bentuk seperti fisik, psikologis, seksual dan penelantaran dalam rumah tangga.[1]

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) didefinisikan sebagai tindakan yang diarahkan kepada individu, khususnya perempuan, yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran dalam konteks rumah tangga. Tindakan ini mencakup ancaman, paksaan, serta pembatasan kebebasan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, dan biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga. KDRT sering kali dipicu oleh rendahnya kemampuan anggota keluarga untuk beradaptasi satu sama lain. Dalam situasi ini, anggota keluarga yang memiliki kekuasaan cenderung menggunakan dominasi dan eksploitasi terhadap anggota keluarga yang lebih lemah. Selain itu, KDRT dapat muncul sebagai dampak dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang mempengaruhi sikap dan perilaku anggota keluarga, terutama orangtua atau kepala keluarga, yang kemudian tercermin dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota keluarga. [2] Untuk melengkapi perangkat hukum yang sudah ada dalam mecegah dan mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang semakin hari semakin meningkat maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang disahkan pada tanggal 14 September 2004.

Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tersebut maka korban kekerasan dalam rumah tangga terutama Perempuan diharapan dapat memperoleh perlindungan hukum dan mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga selanjutnya.[3] Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus perceraian yang disebabkan oleh faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebanyak 5.174 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 4,06% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang mencapai 4.972 kasus. Dari segi distribusi geografis, pada tahun 2023, wilayah yang mencatatkan jumlah kasus perceraian akibat KDRT tertinggi adalah Jawa Timur, dengan total 1.636 kasus. Menurut laporan BPS, Jawa Timur telah menjadi provinsi dengan jumlah kasus perceraian akibat KDRT terbanyak di tingkat nasional selama empat tahun berturut-turut. Angka tersebut meliputi 1.593 kasus pada tahun 2019, 619 kasus pada tahun 2020, 1.354 kasus pada tahun 2021, dan 1.577 kasus pada tahun 2022. Di bawah Jawa Timur, provinsi dengan jumlah kasus perceraian akibat KDRT tertinggi berikutnya adalah Jawa Barat, yang mencatatkan 442 kasus pada tahun lalu. Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan juga melaporkan jumlah kasus yang signifikan, masing-masing sebanyak 333 dan 259 kasus. Sebaliknya, Kalimantan Utara mencatatkan jumlah kasus perceraian akibat KDRT terendah di Indonesia pada tahun 2023, dengan hanya tiga kasus. Provinsi lainnya, yaitu Kepulauan Riau dan Bali, masing-masing mencatatkan 13 dan 15 kasus.[4]

Terdapat empat jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara umum, yaitu yang pertama adalah kekerasan fisik, dalam pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menyebutkan bahwa kekerasan fisik merupakn Tindakan yang mempunyai dampak buruk terhadap korban, seperti jatuh sakit maupun mengalami luka parah. Kekerasan fisik dibagi menjadi dua jenis yaitu kekerasan fisik yang dilakukan dengan anggota tubuh pelaku, misalnya memukul, menampar, mendorong hingga jatuh dan bentuk fisik lainnya, kekerasan fisik dengan menggunakan alat seperti kayu, pisau, dan batang besi. Kedua, kekerasan psikologis, dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 menyebutkan bahwasannya kekerasan psikis adalah Tindakan yang menimbulkan dampak seperti rasa takut, tidak percaya diri, tidak mampu melakukan Tindakan ataupun gangguan psikis berat lainnya. Ketiga, kekerasan seksual, pasal 8 Undang-undang No.23 Tahun 2004 yang berisi bahwa jika adanya pemaksaan dalam hubungan seksual yang dilakukan oleh pelaku kepada korban dalam ruang lingkup rumah tangga dengan mempunyai maksud komersial ataupun tujuan tertentu maka termasuk kekerasan seksual Keempat, penelantaran kekerasan dalam rumah tangga, pasal 9 No.23 Tahun 2004 menyebutka adanya sebuah larangan untuk menelantarkan seseorang yang menjadi bagian dalam rumah tangga, sedangkan secara hukum yang berlaku, sesuai dengan persetujuan atau perjanjian maka harus memenuhi tanggung jawab seperti memberikan kehidupan, merawat, dan pemeliharaan kepada orang yang bersangkutan.[5]

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, namun selama ini selalu dirahasiakan atau ditutup-tutupi oleh keluarga maupun oleh korban sendiri. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga mengandung sesuatu yang khusus yang terletak pada hubungan sang pelaku dan korban.[6] KDRT memiliki dampak yang signifikan pada korban yaitu cedera fisik, seperti memar, luka, dan bahkan cedera yang mengancam jiwa. Korban KDRT dapat mengalami trauma psikologis seperti depresi, kecemasan, dan gangguan tidur. Korban KDRT dapat mengalami dampak ekonomi yang signifikan yaitu, kehilangan pekerjaan ataupun memerlukan biaya medis yang mahal akibat luka yang diterima korban KDRT. Adapun dampak jangka Panjang yang dialami oleh korban KDRT mengalami gangguan Kesehatan mental yang berkepanjangan.[7]

Aspek paling dominan menjadi faktor kekerasan pada Perempuan adalah faktor ekonomi dapat di ketahui bahwa Perempuan yang memiliki suami yang menganggur beresiko lebih besar mengalami kekerasan secara fisik atau seksual dibanding dengan pasangan yang bekerja. Jika perempuan dari Tingkat perekonomian rendah akan cenderung memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan secara fisik atau seksual. faktor pasangan ini dapat terjadi pada suami yang memiliki pasangan akan beresiko lebih besar mengalami kekerasan fisik atau seksual dibanding dengan suaminya yang tidak mempunyai pasangan. Adapun faktor lain yang menyebabkan KDRT, yaitu sering bertengkar dengan suami dari hal tersebut memiliki Tingkat resiko kekerasan lebih tinggi dibanding dengan yang jarang bertengkar dengan pasangannya.[8]

Konsep kekerasan sebagai sebuah kejahatan dalam ranah rumah tangga, seperti yang telat disusun dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 perihal penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian dinyatakan sebagai UU PKDRT yaitu, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik seksual, psikis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah”, tujuan dibentuk undang-undang ini adalah untuk menyelamatkan para korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini merupakan suatu kemajuan yang baik agar korban dari kekerasan dalam rumah tangga dapat melakukan penuntutan serta korban akan merasa lebih terlindungi oleh hukum.[6]

Perlindungan hukum bagi Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut per undang-undangan adalah perlindungan sementara, penetapan perintah perlindungan oleh pengadilan, penyedian ruang pelayana khusus (RPK) di kantor kepolisian, penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif, pemberian konsultan hukum oleh advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pada sidang pengadilan. Dengan demikian undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan korban kekerasan rumah tangga (KDRT) mendapatkan perlindungan sementara diatur dalam pasal 16 undang-undang ini bahwa dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara terhadap korban, perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberi paling lambat 7 hari sejak korban diterima atau di tangani, dalam waktu 1 x 24 jam yang terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.[8]

Selain mengatur tentang hak-hak korban, dalam UU penghapusan KDRT ini pun mengatur tentang perlindungan terhadap korban kekerasan yang diberikan oleh kepolisian berkerja dengan tenaga Kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing Rohani untung mendampingi korban (pasal 17). Mengenai upaya pemerintah dalam percegahan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam pasal 12 UU penghapusan KDRT, yaitu merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan menyelenggarakan Pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. Upaya pencegahan diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada Masyarakat tentang kehidupan berumah tangga yang Sakinah mawaddah warahmah dan tidak diskriminatif sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Undang-undang penghapusan KDRT ini diatur pula mengenai sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, sanksi ini berupa pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan berupa pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu bagi pelaku dan penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan Lembaga tertentu.[6]

Dengan demikian dalam pelaksanaanya akan memberikan ketidakadilan bagi korban KDRT itu sendiri, dengan adanya sanksi alternatif pelaku KDRT dapat memilih untuk membayar denda daripada melaksanakan pidana penjara. Undang-undang menetapkan jika ada yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga maka akan diberikan sanksi penjara paling lama lima tahun atau dikenakan denda paling banyak sebesar Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dampak hukum yang diterima pelaku tindak kekersan dalam rumah tangga (KDRT) diantaranya adalah program rehabilitasi dalam beberapa kasus, pelaku mungkin diwajibkan mengikuti program tersebut untuk mengatasi perilaku kekerasan, dan meninggalkan catatan kriminal yang berdapak pada masa depan pelaku, seperti kesulitan mendapatkan kerja dan perizinan tertentu. Selanjutnya Upaya pencegahan dan memberantas kekerasan dalam rumah tangga sebagai penegakan hukum dari Undang-undang penghapusan KDRT harus diupayakan secara Bersama-sama antara pemerintah dengan Masyarakat serta korban kekerasan itu sendiri.[9]

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh CI terungkap setelah ia membagikan video mengenai insiden tersebut melalui akun Instagramnya pada tanggal 13 Agustus 2024. Dalam unggahan tersebut, CI menampilkan rekaman CCTV yang menunjukkan momen saat ia berada di tempat tidur bersama suaminya, A, dan anak bungsunya. Dalam video tersebut, A terlihat memukul CI, yang secara tidak langsung juga mengenai bayi korban. CI mengungkapkan bahwa selama ini ia bertahan karena anak-anaknya. Ia menegaskan, “Ini bukan pertama kalinya saya mengalami KDRT; saya memiliki puluhan video lain yang saya simpan sebagai bukti,”. Selain itu, CI juga menuduh suaminya melakukan perselingkuhan berkali- kali selama lima tahun pernikahan. Menurut keterangan Pihak Kepolisian, hasil pemeriksaan awal menunjukkan bahwa tindakan KDRT yang dilakukan A dipicu oleh ketahuan menonton video porno di ponselnya.[10]

Dari beberapa artikel menurut Rena Yulia, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Penegakan Hukum, Sejarah peradaban manusia sendiri tak pernah lepas dari kekerasan dan kejahatan, mulai dari zaman kegelapan atau dikenal juga dengan istilah Zaman Jahiliyah sampai dengan sekarang abad modern. Seperti yang dikatakan oleh Frank Tannembaum bahwa dimana ada masyarakat disitu akan tumbuh dan berkembang kejahatan.[3]

Selain itu menurut Mestika, dengan judul Perlindungan Hukum Pada Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia, tindak kekerasan sudah seringkali terjadi didalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seringkali tindak kekerasan dapat dijumpai di area public, bahkan didalam rumah tanggapun adapula kasus kekerasan yang terjadi didalamnya. Kekerasan rumah tangga atau biasa disingkat KDRT seringkali memjadikan perempuan (istri) sebagai korbannya.[8]

Dan yang terakhir menurut Fitriya Wardhany, dengan judul Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Suami Terhadap Istri, masalah kekerasan (khususnya dalam rumah tangga) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan hukum kemanusiaan. Namun demikian, tidak semua kejahatan mengandung unsur-unsur kekerasan, dan tidak semua tindakan kekerasan dapat dikatakan sebagai komponen kejahatan.[6]

Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa artikel mengenai perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia menunjukkan bahwa kekerasan merupakan masalah sosial yang sudah ada sejak lama dan terus berlanjut hingga saat ini. Menurut Rena Yulia, sejarah peradaban manusia tidak dapat dipisahkan dari adanya kekerasan dan kejahatan, yang mana pernyataan Frank Tannembaum menegaskan bahwa kejahatan akan selalu ada di tengah masyarakat. Mestika menyoroti bahwa kekerasan dalam rumah tangga, yang seringkali menimpa perempuan, merupakan masalah umum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik di ruang publik maupun privat. Sementara itu, Fitriya Wardhany menekankan bahwa KDRT adalah bentuk kekerasan yang tidak hanya melecehkan harkat kemanusiaan, tetapi juga merupakan kejahatan melawan hukum kemanusiaan. Meskipun demikian, tidak semua tindakan kekerasan dapat dianggap sebagai kejahatan. Dengan demikian, perlunya perhatian dan tindakan yang lebih serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi korban dan mencegah terjadinya kekerasan di masa depan.

Tujuan dalam penelitian ini adalah meningkat kesadaran Masyarakat terhadap dampak yang akan dialami oleh korban yang mengalami kekerasan KDRT sehingga masyakat akan lebih peka dan peduli terhadap isu ini, memberikn edukasi tentang bentuk bentuknya, serta dampak psikolog dan fisik yang dialami oleh korban serta dapat memberikan informasi dukungan bagi korban KDRT seperti tempat perlindungan, layanan konseling dan bantuan hukum dan mendorong penegakan hukum yang lebih baik serta memperkuat mekanisme perlindungan bagi korban.

METODE

Pendekatan yang diambil adalah Yuridis Normatif menurut Perudang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Spesifikasi penelitian adalah Objek karena meneliti sebuah masalah. Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah Deskriptif Analisis yaitu menggambarkan, menemukan fakta-fakta hukum secara menyeluruh dan hasil penelitian data yang lengkap dan detail. Artikel ini menggunakan jenis data Sekunder yaitu data yang dikumpulkan dari sumber yang sudah ada sebelumnya, seperti internet dan jurnal penelitian yang bersumber dari google scholar dan website. Metode pendekatan penelitian Kualitatif yaitu penelitian berdasarkan pada metode penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena secara mendalam, dengan menekankan pada makna dan nilai. Metode ini menggunakan data deskriptif berupa bahasa tertulis atau lisan dari orang dan pelaku yang diamati. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang menggambarkan semua data atau keadaan subjek atau objek penelitian kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung pada saat ini dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalah dan dapat memberikan informasi yang mutkahir. Pengumpulan data dilakukan kepada korban KDRT, keluarga korban, dan para ahli (penegak hukum, pekerja sosial,) untuk memperoleh pandangan mengenai penyebab dan dampak KDRT, serta prosedur hukum yang telah dijalankan dan Mengkaji Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, data dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta artikel penelitian dan laporan dari organisasi terkait KDRT. Analisi data berasal dari jurnal yang mengidentifikasi pola-pola tertentu terkait dengan faktor pemicu KDRT, jenis kekerasan, serta langkah perlindungan bagi korban. Analisis ini juga akan mengidentifikasi kelemahan atau tantangan dalam sistem penanganan KDRT di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam kamus Bahasa lndonesia, keluarga diartikan sebagai “satuan kerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat, yang terdiri dari ibu bapak dengan anak-anak seisi rumah”. Bila komponen-komponen dalam sebuah keluarga saling ada rasa mengerti dan saling menyayangi maka akan terciptalah suasana yang harmonis. Akan tetapi bila dalam keluarga tersebut terjadi sebuah tindak kekerasan, misalnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri maka akan sangat berpengaruh bagi keharmonisan keluarga maupun terhadap hubungan orang-orang dalam keluarga tersebut. Secara etimologis kekerasan dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dalam beberapa makna, diantaranya adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga diartikan sebagai suatu yang mengandung paksaan. Sedangkan arti rumah tangga yaitu suatu yang berkenaan dengan kehidupan dalam rumah tangga atau suatu yang berkenaan dengan keluarga. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga secara rinci yaitu kekerasan yang mengakibatkan luka fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, yang terjadi di dalam lingkup keluarga, pernikahan maupun hubungn kerja dan pasangan dalam hubungan intim secara sosial maupun seksual. [11]

Untuk mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga perangkat hukum yang sudah ada tidak dapat menjerat pelaku kekerasan dengan mudah. Selama ini pelaku hanya dijerat dengan pasal penganiayaan ataupun pembunuhan itu pun tidak dapat semua terjerat sebab tidak semua korban melaporkan kejadian kepada pihak berwajib. Selama ini pula perangkat hukum yang ada tidak memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terutama peremuan diharapkan dapat memperoleh perlindungan hukum dan mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga. Perilaku atau Tindakan kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. HAM ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainnkan berdasarkan martabat sebagai manusia.[12]

Pandangan terdahap bentuk kekerasan di indonesia, terutama kekerasan dalam rumah tangga yaitu bentuk dari diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Kekerasan dalam rumah tangga berpengaruh besar terhadap kehidupan seseorang dan terlebih terhadap orang – orang yang berada didalam ruang lingkup rumah tangga tersebut. Terlebih apabila kekerasan dalam rumah tangga dapat berdampak pada lahirnya generasi yang memiliki moral yang buruk. Dalam hukum positif di negara, masalah kekerasan dalam Rumah Tangga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga. Menurut UndangUndang nomor 23 tahun 2014 ini, Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama pcrempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga larena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian., yang menetap dalam rumah tangga atau orang yang bekeıja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tcrsebut, dengan catatan selama dia berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Arti Kekerasan dalaın Rumah Tangga menurut Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 ini lebih luas, karena tidak hanya mencakup hubungan antara suami dan istri, tetapi juga kepada semua orang yang ada tinggal di rumah.

Tindak Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga tidak hanya berdampak pada kondisi fisik namun berdampak juga terhadap kondisi psikologis. Rasa takut yang dalam terhadap anak juga salah satu dampak dari kekerasan dalam rumah tangga yang mengkibatkan seorang anak memiliki sikap tertutup terhadap lingkungannya. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat menimbulkan tekanan yang berakibat pada terganggunya psikis seseorang. Seorang istri yang mengalami tindak kekerasan fisik maupun kekerasan seksual dapat mengakibatkan krisis psikologis yang semakin membuatnya tertekan dan tidak dapat percaya diri.[11]

Peran aparat penegak hukum, lembaga pendamping dalam memberikan perlindungan pada anak sebagai korban KDRT menurut UU perlindungan anak dan UU PKDRT. Perlindungan hukum bagi anak sebagai korban KDRT yaitu perlindungan yang diberikan, antara lain yaitu pemberian bantuan hukum, kerahasiaan identitas korban, penangkapan pelaku dengan bukti permulaan, pemberian bantuan lain berupa pelayanan Kesehatan, upaya rehabilitasi. Serta pentingnya untuk diadakan sosialisasi UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kesejahteraan Anak kepada masyarakat dan sekolah-sekolah dengan bekerjasama melalui aparat kepolisian, agar masyarakat lebih memahami mengenai KDRT dan hak-hak anak.[13]

Dengan demikian, hukum memainkan peran yang penting dalam mencegah dan menangani KDRT. Penting bagi sistem hukum untuk bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, petugas kesehatan, dan kelompok advokasi untuk menangani masalah ini secara efektif.[14]

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah serius yang terjadi di seluruh dunia. KDRT dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Faktor-faktor penyebab KDRT sangat kompleks, dan dapat melibatkan faktor individu, keluarga, masyarakat, dan budaya. Dampak KDRT terhadap korban sangat merugikan dan dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan pada korban. Selain itu, KDRT juga berdampak negatif terhadap anak-anak yang menjadi saksi atau korban langsung tindakan kekerasan tersebut.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, maka masyarakat mulai memahami bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindak pidana yang harus dilaporkan ke kepolisian dan bukan hanya masalah keluarga saja. Upaya untuk penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diatur pasca berlakunya Undang-Undang ini sudah efektif. Dengan adanya peran aparat penegak hukum baik kepolisian, advokat, dan pengadilan serta bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani, dan relawan pendamping. Oleh karena itu, perlu adanya peran aktif dari masyarakat untuk melapor ke kepolisian jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Perlu dilakukan upaya yang lebih besar dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), termasuk mengenai definisi, tanda-tanda, dan konsekuensi dari KDRT. Masyarakat dapat diberikan program pendidikan yang terintegrasi dalam sistem pendidikan formal dan non-formal juga penting untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang KDRT dan mempromosikan sikap yang mendukung nonkekerasan.

References

  1. Setiawan, Naufal Hibrizi. "Pemahaman dan faktor–faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga: tinjauan literatur." Jurnal Dialektika Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 6.2 (2024)...
  2. Tamami, Radinka Suci, et al. "Inovasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat Strategi Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi di Desa Cangkuang Kabupaten Bandung." PROCEEDINGS UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 4.5 (2024): 8-25...
  3. Rena Yulia, N. "Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Penegakan Hukum." Volume Xx,(3) (2004)...
  4. Rahmaniar, Anastasya, et al. Bunga Rampai Isu-Isu Komunikasi Kontemporer 2023. PT Rekacipta Proxy Media, 2023...
  5. Nurfaizah, Iva. "Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Kesehatan Mental Anak." Gunung Djati Conference Series. Vol. 19. 2023...
  6. Wardhany, Nyimas Enny Fitriya. "Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Suami Terhadap Istri." Legalitas: Jurnal Hukum 16.1 (2024): 23-33...
  7. Setiawan, Naufal Hibrizi. "Pemahaman dan faktor–faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga: tinjauan literatur." Jurnal Dialektika Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 6.2 (2024)...
  8. Mestika, Hana Fairuz. "Perlindungan Hukum Pada Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia." Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal 2.1 (2022): 118-130...
  9. Nurfaizah, Iva. "Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Kesehatan Mental Anak." Gunung Djati Conference Series. Vol. 19. 2023...
  10. PUSPAPERTIWI, ERWINA RACHMI. "Hubungan Terpaan Berita Kekerasan Papua di Tribunnews. com dengan Sikap Rasialisme Mahasiswa Tiga PTN di Surabaya."..
  11. Adolph, R. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Tinjau Dari Aspek Yuridis Dan Psikologis (Studi Kasus Di wilayah Hukum Polkes Brajaselebah Lampung Timur). 1–23...
  12. Dewi, Sartika. "Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dihubungkan dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan." Jurnal Sehat Masada 14.2 (2020): 121-134...
  13. Kobandaha, Mahmudin. "Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga dalam sistem hukum di indonesia." Jurnal Hukum Unsrat 23.8 (2017)...
  14. Setiawan, Naufal Hibrizi. "Pemahaman dan faktor–faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga: tinjauan literatur." Jurnal Dialektika Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 6.2 (2024)...