Abstract

This research discusses the application of criminal law on tax evasion in the context of tax regulation harmonization policy in Indonesia. The main focus of this research is to analyze two things, namely: first, legal arrangements related to alleged tax evasion based on positive law in Indonesia, and second, the application of criminal law to alleged tax evasion as stipulated in Law Number 7 of 2021 concerning Harmonization of Tax Regulations. The research method used in this research is normative legal research (doctrinal), using the statue approach, analytical approach, and conceptual approach. The research data presented is sourced from primary, secondary, and tertiary legal materials. The study results show that: Legal arrangements for alleged tax evasion in Indonesia are regulated through the Harmonization of Tax Regulations legislation which provides the legal basis for prosecuting the crime, including its elements. However, in Decision Number: 75/Pid.Sus-Tpk//2023/Pn.Jkt.Pst, the application of these provisions was not prioritized. The Public Prosecutor only focused on corruption and money laundering crimes, where tax evasion became a predicate crime for money laundering.

 

Abstrak:

Penelitian ini membahas penerapan hukum pidana atas penggelapan pajak dalam konteks kebijakan harmonisasi peraturan perpajakan di Indonesia. Fokus utama penelitian ini adalah untuk menganalisis dua hal, yaitu: pertama, pengaturan hukum terkait dugaan penggelapan pajak berdasarkan hukum positif di Indonesia, dan kedua, penerapan hukum pidana terhadap dugaan penggelapan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (doktrinal), dengan menggunakan metode pendekatan statue approach, analytical approach, dan conceptual approach. Data penelitian yang disajikan bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil kajian menunjukan bahwa: Pengaturan hukum atas dugaan penggelapan pajak di Indonesia diatur melalui perundang-undangan Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang memberikan dasar hukum penindakan tindak pidana tersebut, termasuk unsur-unsurnya. Namun, dalam Putusan Nomor: 75/Pid.Sus-Tpk//2023/Pn.Jkt.Pst, penerapan ketentuan tersebut tidak diutamakan. Jaksa Penuntut Umum hanya berfokus pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang, di mana penggelapan pajak menjadi predicate crime bagi tindak pidana pencucian uang.

Rohid Rohid, Lauddin Marsuni, Kamri Ahmad

Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia

Surel Koresponden:

PENDAHULUAN

Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi penyelengaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Sehingga Pemerintah menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu pewujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana dalam pembiayaan negara dalam pembangunan nasional guna tercapainya tujuan negara. Masyarakat masih beranggapan bahwa pemungutan pajak adalah perampasan ekonomi. Opini tersebut terbangun karena pajak identik dengan pungutan yang harus disetorkan kepada negara dalam jumlah tertentu. Sesuai falsafah Undang-Undang Perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. 1 Dalam hukum pajak, bukan subjek pajak sebagai pendukung kewajiban dan hak melainkan adalah wajib pajak. Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, secara tegas menentukan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2

Bagi warga negara yang telah mempunyai tingkat kesadaran hukum yang tinggi dalam arti telah berperilaku sesuai dengan hukum,3 atau mengerti fungsi pajak mengerti dampak pajak baik terhadap masyarakat maupun individu, akan dengan suka rela dan disiplin membayar pajak tanpa adanya pemaksaan. Perundang-undangan di bidang perpajakan diatur mengenai sanksi terhadap pajak. Adanya ketentuan sanksi ini dimaktubkan untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku baik dilakukan oleh wajib pajak, petugas pajak maupun pihak ketiga terhadap ketentuan pembayaran pajak sebagai bagian dari hukum administrasi, undang-undang pajak lebih banyak mengandung sanksi administrasi dari pada sanksi pidana.4

Ketentuan tindak pidana terhadap wajib pajak yang tidak patut terhadap pembayaran pajaknya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C.5 Pada dasarnya tindak pidana di bidang perpajakan dibedakan menurut sifatnya, yaitu karena kealpaan dan karena kesengajaan. Terhadap kedua sifat tindak pidana tersebut dikenakan sanksi pidana kepada wajib pajak, petugas pajak (fiskus) dan kepada pihak ketiga. 6

Salah satu peristiwa pidana di bidang perpajakan yang banyak dilakukan oleh wajib pajak adalah penerimaan pajak disektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN), seperti: “Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), atau Sudah menyampaikan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, Membayar pajak lebih ringan, Menghindari pembayaran pajak, atau Untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya, yang merugikan Negara”. Hal itu bertentangan dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.7

Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Semester I/2023, jumlah dugaan tindak pidana di bidang perpajakan mencapai 4.230 LTKM, naik sebesar 15,21% dibandingkan dengan Semester I/2022 sebanyak 3.680 LTKM. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan instansinya terus berupaya menerapkan prinsip Anti Pencucian Uang dan Penegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) di seluruh sektor, tidak terkecuali perpajakan. Sekadar informasi, perpajakan selama ini merupakan salah satu sektor yang paling rawan menjadi wadah pencucian uang setelah terorisme. Pada tahun lalu, PPATK menemukan 1.215 LTKM senilai Rp183,3 triliun, dengan realisasi penerimaan negara dari hasil analisis dan pemeriksaan yang disampaikan kepada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan senilai Rp7,04 triliun sepanjang 2020-2022.

Maraknya peristiwa pidana di bidang perpajakan di tahun 2023 ini menandakan tidak berjalannya penegakan hukum oleh penyidik di Dirjen Pajak khususnya di wilayah hukum kota makassar. Hal ini dapat dilihat pada salah satu kasus: Kerugian Negara akibat dari tindak pidana PPN sudah ada di Kota Makassar. Pada tahun 2011, Direktur PT Intikarsa Global Energi, Andi Haeruddin (46), dituntut hukuman 4 tahun penjara. Andi Haeruddin didakwa dalam kasus dugaan pengemplangan pajak. “Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana perpajakan. Selain tuntutan 4 tahun penjara, terdakwa juga diwajibkan membayar denda dua kali pajak, sebesar Rp2,2 (dua koma dua) miliar. Terdakwa dijerat Pasal 39 Ayat 1 huruf d dan i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irfano, terdakwa Haeruddin selaku suplier alat mekanikal elektrikal tidak menyetorkan biaya Pajak Pertambahan Nilai sejak 2008 dan 2009 sebesar Rp1,1 miliar. Padahal dalam periode itu ditemukan transaksi jual beli yang dilakukan perusahaan Haeruddin. Haeruddin juga memalsukan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan PPN masa Januari 2008 sampai Desember 2009. Dalam laporan itu, terdakwa menyebut jika penghasilan usahanya nihil. Irfano mengatakan, hal yang memberatkan terdakwa karena telah merugikan pendapatan keuangan negara dari hasil pajak.

Selanjutnya di tahun 2023 publik dihebohkan mencuaknya kasus Rafael Alun Trisambodo dimana diketahui bahwa Rafael Alun Trisambodo merupakan salah seorang pegawai negeri sipil di Lingkungan Direktorat Jendral Pajak. Kasus Rafael Alun Trisambodo yang sempat menggemparkan Indonesia bukanlah sekadar kasus penggelapan pajak biasa. Kasus ini menyoroti masalah lebih luas terkait korupsi, gaya hidup mewah pejabat, serta lemahnya pengawasan terhadap harta kekayaan pejabat negara. Sebagaimana yang dimuat dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam putusan nomor : 75/Pid.Sus-TPK//2023/PN.Jkt.Pst. Dalam ketiga dakwaannya Jaksa Penuntut Umum menemukan bahwa: Rafael Alun Trisambodo dalam menjalakan tugasnya sebagai Aparatur Sipil Negara melakukan penyimpangan serta menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan penggelapan pajak terhadap wajib pajak berbentuk badan hukum (Perusahaan), dimana dalam kewenangannya membatu beberapa perusahaan untuk mengurai ataupun menggelapkan nilai pajak setornya kepada negara.

Bukti bahwa bidang pajak merupakan sektor yang penting untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, dibutuhkan pembangunan dalam segala aspek yang bersumber pada Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN), APBN bersumber dari pembayaran pajak oleh wajib pajak, perorangan, badan hukum dan pihak ketiga yang menjadi sumber utama pendapatan penerimaan keuangan negara sebesar kurang lebih 80%.8 Namun dalam kenyataannya di dalam masyarakat Indonesia secara umum kerap kali terjadi tindak pidana bidang perpajakan berupa kealpaan dan kesengajaan, baik oleh wajib pajak, fiskus (aparat perpajakan) dan pihak ketiga (bank, notaris, konsultan pajak, akuntan publik, kantor administrasi) yang tidak menyetorkan uang pajak kepada kas Negara, sehingga terjadi kerugian pendapatan penerimaan keuangan Negara yang bersumber dari pajak. Dengan begitu besarnya pemasukan pajak yang belum tercapai masih ada juga orang atau badan hukum yang melakukan tindak pidana dibidang perpajakan. 9

Sehingga untuk mewujutkan fungsi dan tujuan pajak tercapai setiap warga negara sebagai recht persoon atau badan hukum harus taat, patuh dan memenuhi kewajibannya sebagai wajib pajak, untuk mewujudkan tujuan dari adanya pajak perlu adanya penerapan hukum pidana atas dugaan tindak pidana penggelapan perpajakan.10 Penerapan hukum pidana atas dugaan penggelapan pajak merupakan langkah yang sangat penting untuk menjaga keadilan, ketertiban, dan stabilitas negara. Dengan adanya sanksi pidana, diharapkan dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, meningkatkan penerimaan negara, dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

METODE

Artikel ini menggunakan metode normatif atau doktrinal yang bertujuan untuk menganalisis penerapan hukum pidana atas penggelapan pajak dalam kebijakan harmonisasi peraturan perpajakan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bertujuan untuk membangun konsep teori yang berdasarkan bahan bacaan dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach), pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Data penelitian yang dibutuhkan adalah sumber data sekunder di bidang hukum, yang dibedakan menjadi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Kemudian dianalisa menggunakan metode analisis data kualitatif untuk menganalisa bahan hukum yang telah dikumpulkan dan akan disampaikan secara deskriptif.11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaturan Hukum Atas Dugaan Penggelapan Pajak Berdasarkan Hukum Positif Di Indonesia

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Undang-Undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya. 12

Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-Undang perpajakan ini dengan tetap menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut: 13

  1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara;
  2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
  3. Menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
  4. Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
  5. Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
  6. Meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten;
  7. Mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.

Dalam kenyataan dilapangan begitu banyak kasus-kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang sampai saat ini masih sulit untuk dijerat oleh Pasal 372 KUH Pidana sebagai kasus penggelapan dikarenakan oleh sifat dan jangkauan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang memberi perhatian lebih kepada penerimaan negara, kepatuhan sukarela membayar pajak dan membaiknya iklim usaha. 14 Penggelapan menurut Pasal 372 KUH Pidana adalah barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, demngan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah. Dari pasal tersebut terkandung unsur subjektif dan objektif, sebagaimana akan diuraikan sebagai berikut:15

  1. Unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri pelaku yakni unsur dengan sengaja.
  2. Unsur objektif yaitu: Barang siapa; Menguasai secara melawan hukum; Suatu benda; Sebagian atau seluruhnya; Berada padanya bukan karena kejahatan.

Sedangkan penggelapan pajak dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan hanya menyebut tindak pidana pajak yang secara limitative diatur dalam bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 43.16 Jika seseorang melakukan tindak pidana penggelapan pajak maka akan diproses sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, yaitu Undang-Undang perpajakan sebagaimana yang telah dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pada Pasal 38 disebutkan karena kealpaannya: 17

  1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau;
  2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Demikian dapat dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana di bidang perpajakan baru termasuk penggelapan pajak dapat dilaksanakan setelah sanksi administrasi tidak dijalankan baik oleh wajib pajak maupun petugas pajak atau fiskus. Dengan demikian maka hukum pidana atau sanksi pidana baru diterapkan apabila upaya-upaya lain telah dilakukan tetapi tidak membawa pengaruh sama sekali atau dengan kata lain tidak membawa efek jera baik bagi sipelaku maupun calon pelaku. Dan nampaknya yang diutamakan dalam menangani tindak pidana di bidang perpajakan ini adalah pengembalian jumlah kerugian negara yang timbul dari tindak pidana penggelapan pajak ini. Demikian bila sanksi administrasi telah dipenuhi atau telah dikembalikan atau dibayarkan, maka tidak perlu sanksi pidana diterapkan. 18 Hal ini dinyatakan dalam Pasal 44 B, yakni bahwa untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. Penghentian penyidikan yang dimaksud hanya dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Secara umum penggelapan pajak atau kejahatan dibidang perpajakan merupakan perbuatan yang merugikan negara dalam hal pemasukan negara dalam sektor pajak. Analisa peneliti dalam kasus Rafael Alun Trisambodo yang telah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus dengan Putusan Nomor: 75/Pid.Sus-TPK//2023/PN.Jkt.Pst.

Bentuk penggelapan pajak yang dilakukan oleh Rafael Alun Trisambodo adalah dengan memanfaatkan jabatannya (pegawai negeri) di Direktorat Jenderal Pajak bersama dengan istinya selaku Komisaris Utama PT. Artha Mega Ekadhana bergerak di bidang jasa sebagai konsultan pajak. Di tahun 2011 sampai dengan tahun 2023, atas harta kekayaan yang diperoleh dari hasil melawan hukum (gratifikasi) terdakwa sama sekali tidak melaporkan harta kekayaannya Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dan dengan sengaja menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaannya dengan cara membelanjakan dan menempatkan harta kekayaan hasil penerimaan gratifikasi dalam bentuk asset pribadi. Dalam hal ini, perbuatan pelaku jelas melanggar ketentuan aturan yang berlaku tentang ketentuan umum tata cara perpajakan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Penerapan Hukum Pidana Atas Dugaan Penggelapan Pajak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021

Sistem perpajakan Indonesia adalah self assessment, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan Tahunan/Masa ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan jenis pajak dan batas waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang perpajakan. Perkembangan ini menunjukkan bahwa perbaikan dalam sistem administrasi perpajakan memberikan pengaruh positif bagi peningkatan kepatuhan wajib pajak yang pada akhirnya mendorong peningkatan penerimaan pajak. Agar peningkatan kepatuhan wajib pajak dapat dilaksanakan dengan baik, disamping dilakukan penyuluhan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, juga perlu dilakukan tindakan penegakan hukum melalui penagihan, penyidikan dan pemeriksaan pajak.19

Salah satu jenis tindak pidana di bidang pajak adalah penggelapan pajak. Penggelapan Pajak merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Penerapan hukum terhadap pelaku penggelapan pajak ini dapat dikenakan Pasal 372 KUH Pidana karena melakukan penggelapan tetapi dalam penerapannya tindak pidana penggelapan pajak digunakan Pasal 39 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah disempurnakan kedalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dimana dalam penerapan hukumnya berlaku asas lex specialis derogat legi generali, sehingga hukum acara formilnya hanya menggunakan ketentuan tersebut.20

Pemberlakukan hukum pidana dalam penangan tindak pidana atas dugaan tindak pidana dalam dewasa ini cukup berkembang, dikarenakan modus operandi yang diterapkan pelaku mengikuti arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya adalah pelaku melakukan penghindaran pajak (penggelapan pajak) dengan cara membelikan ataupun memindahkan harta kekayaanya dalam bentuk asset pribadi, maka sering kali aparat penegak hukum menggandengkan tindak pidana pencucian uang dalam upaya penanganan tindak pidana atas dugaan penggelapan pajak. Sehingga tindak pidana atas dugaan penggelapan pajak sebagai predicate crime pada tindak pidana pencucian uang, setidaknya mengarah pada penggunaan bentuk lain atas kerugian pada potensi pendapatan negara yang dilakukan oleh wajib pajak dengan menggunakan upaya-upaya tindakan penghindaran pajak (penggelapan pajak). Sehingga dalam hal ini terdapat koneksitas antara pencucian uang dan pajak, karena dalam hal ini terdapat unsur ketergantungan kejahatan antara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana atas dugaan penggelapan pajak.21 Seperti halnya yang terjadi dalam kasus Rafael Alun Trisambodo yang telah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus dengan Putusan Nomor: 75/Pid.Sus-TPK//2023/PN.Jkt.Pst. Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum menggunakan dakwaan kumulatif yaitu menggabungkan unsur-unsur tindak pidana korupsi serta unsur-unsur tindak pidana pencucian uang sebagai predicate crime dalam tindak pidana atas dugaan penggelapan pajak.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pengaturan hukum atas dugaan penggelapan pajak di Indonesia diatur secara komprehensif melalui peraturan perundangan-undangan Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang memberikan dasar hukum yang kuat dalam penindakan terhadap tindak pidana atas dugaan penggelapan pajak. Dalam ketentuan ini membuat unsur-unsur dari tindak pidana penggelapan pajak. Hendaknya Pemerintah perlu terus melakukan penyempurnaan dan harmonisasi peraturan perpajakan untuk menutup celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku penggelapan pajak. Khususnya pada unsur tindak pidana atas dugaan penggelapan pajak yang mana unsur ini tidak berdiri sendiri dalam pelaksanan penerapan hukumnya sehingga memerlukan perbarengan dari ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan pajak.

Penerapan hukum pidana atas dugaan penggelapan pajak berdasarkan perundangan-undangan Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam Putusan Nomor: 75/Pid.Sus-Tpk//2023/Pn.Jkt.Pst, tidak secara tegas menerapkan ketentuan tersebut. Namun Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya hanya berfokus pada tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang mana dalam tindak pidana pencucian uang merupakan predicate crime tindak pidana atas dugaan penggelapan pajak. Diharapkan seluruh elemen aparat penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum serta Hakim dalam penanganan kasus pidana perpajakan, lebih melihat kemampuan terpidana pajak dalam hal pengembalian sanksi denda kedepannya, agar kasus serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

References

  1. E. Winarsih, “EVALUASI PERHITUNGAN, PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS KARYAWAN TETAP (STUDI KASUS PADA KANTOR WILAYAH VI PT PEGADAIAN MAKASSAR),” Restitusi J. Ris. Perpajak., vol. 1, no. 02, pp. 27–34, 2022.
  2. E. R. N. Ariyanti and I. N. Mutiah, “HAK DAN KEWAJIBAN WAJIB PAJAK SERTA OTORITAS PERPAJAKAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN,” ADIL J. Huk., vol. 14, no. 1, pp. 1–27, Jul. 2023, doi: 10.33476/ajl.v14i1.3439.
  3. N. Ichsan, C. Nasir, N. H. Attas, and T. E. Saputra, “Empowering Community Legal Awareness in The Utilization of Mining Natural Resources and Environmental Protection,” J. Indones. Sch. Soc. Res., vol. 2, no. 2, pp. 205–214, 2022.
  4. B. A. Kusumo, “Sanksi hukum di bidang perpajakan,” Wacana Huk., vol. 8, no. 2, 2009.
  5. B. Hartono, Z. Hasan, and A. Siregar, “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan Secara Bersama-sama,” Case Law, vol. 4, no. 1, pp. 1–16, Jan. 2023, doi: 10.25157/caselaw.v4i1.3068.
  6. M. E. A. Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari, “TINJAUAN YURIDIS KEBIJAKAN PENGAMPUNAN PAJAK (TAX AMNESTY) TERHADAP WAJIB PAJAK TERKAIT SANKSI PIDANA PERPAJAKAN,” J. Huk. Mhs., vol. 1, no. 1, pp. 33–48, Apr. 2021, doi: 10.36733/jhm.v1i1.2571.
  7. M. R. Joka, “Tindak Pidana Perpajakan Dalam Pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,” Justice Voice, vol. 1, no. 2, pp. 91–102, Feb. 2023, doi: 10.37893/jv.v1i2.191.
  8. H. A. Alfaruqi, D. K. Sugiharti, and A. Cahyadini, “Peran pemerintah dalam mencegah tindakan penghindaran pajak sebagai aktualisasi penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam bidang perpajakan,” ACTA DIURNAL J. Ilmu Huk. Kenotariatan, vol. 3, no. 1, pp. 113–133, 2019.
  9. A.-A. E. Adi Nugraha & Edy Herdyanto, “PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PUTUSAN NOMOR 2628 K/Pid.Sus/2016 TENTANG FAKTUR PAJAK FIKTIF,” Verstek, vol. 8, no. 1, Feb. 2020, doi: 10.20961/jv.v8i1.39602.
  10. E. F. Virginia and E. Soponyono, “Pembaharuan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan,” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 3, no. 3, pp. 299–311, Sep. 2021, doi: 10.14710/jphi.v3i3.299-311.
  11. T. E. Saputra and G. A. Putri, “Strategi Kepolisian Republik Indonesia Dalam Penanganan Anak Yang Terpapar Radikalisme Di Lingkungan Keluarga,” Vifada Assumpt. J. Law, vol. 2, no. 2, pp. 13–25, Jul. 2024, doi: 10.70184/95p0dp33.
  12. H. Panjaitan, “ASPEK HUKUM KEGIATAN PERPAJAKAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA,” J. Huk. to-ra Huk. Untuk Mengatur dan Melindungi Masy., vol. 8, no. 3, pp. 302–315, Dec. 2022, doi: 10.55809/tora.v8i3.155.
  13. Y. I. Komaling, “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PAJAK MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007,” LEX Crim., vol. 10, no. 6, 2021.
  14. J. S. D. Mamole, R. Singal, and G. Bawole, “PENEGAKAN HUKUM BAGI KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN BUKTI PEMBAYARAN PAJAK,” LEX Priv., vol. 13, no. 3, 2024.
  15. D. Rahim, “Pertanggungjawaban Pidana Penggelapan dalam Perjanjian Kredit (Studi Kasus Perjanjian Kredit Sepeda Motor),” J. Leg., vol. 5, no. 01, 2012.
  16. R. Soemitro, “Dasar–Dasar Hukum Pajak & Pajak Pendapatan,” Bandung PT. Eresco, 2005.
  17. B. Telaumbanua and F. Fahmiron, “PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PERMOHONAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PAJAK NOMOR 03/PID. PRA/2015/PN. PDG,” Unes J. Swara Justisia, vol. 2, no. 1, pp. 11–21, 2018.
  18. J. Alessandro, “SANKSI ADMINISTRASI BAGI WAJIB PAJAK YANG LALAI MEMBAYAR PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA1 Oleh: Jeremi Alessandro,” LEX Adm., vol. 10, no. 2, 2022.
  19. A. D. Nugroho and A. SH, Hukum Pidana Pajak Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, 2018.
  20. N. Sulaiman and H. Yusuf, “Strategi Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan di Indonesia: Studi Tentang Penghindaran dan Penggelapan Pajak,” J. Intelek Insa. Cendikia, vol. 1, no. 9, pp. 5124–5139, 2024.
  21. N. A. Arifki and I. F. Azmi, “Penghindaran Pajak Dalam Diskursus Tindak Pidana Pencucian Uang,” Pandecta Res. Law J., vol. 15, no. 2, pp. 167–177, 2020.