TINJAUAN HUKUM TERHADAP BATAS MINIMAL 30% CALON ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN YANG DIAJUKAN OLEH PARTAI POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF
Abstract
ABSTRAC
This study aims to find out and analyze the legal rules regarding the Minimum Limit of
30% Quota of Female Legislative Candidates proposed by Political Parties and to know
and analyze the implications of the application of the minimum 30% quota for female legislative candidates proposed by Political Parties in the Legislative Election. This study uses the Legal Research method with the type of normative legal research, which is a study that examines the law based on statutory regulations. The results of this study show that the opportunity for women's involvement in politics has been wide open when the affirmative action policy was introduced. This policy requires that the quota that must be fulfilled by political parties in compiling the list of candidates for legislative members is
30%. These formal regulations are strengthened by various regulations such as the Election Law No.10/2008, Election Law No.8/2012, PKPU No.7/2013 and Election Law No.7/2017.UU.No.22 of 2007 There are formal legal guarantees for women to be involved in politics is already open, but there are still obstacles faced by women to enter the political sphere, especially as members of the legislature. Affirmative action against
women in politics began with the passing of Law Number 12 of 2003 concerning the
Election of DPR, DPD, and DPRD. Article 65 paragraph (1) of Law Number 12 of 2003
concerning the Election of DPR, DPD, and DPRD states that: Every Election Contesting
Political Party may nominate candidates for Members of DPR, Provincial DPRD, and
Regency/Municipal DPRD for each Electoral District with due observance of representation. women at least 30%." The result does appear to be progress, explicitly
requiring political parties to place at least 30 percent of women in the management of
political parties, while Article 55 paragraph 2 of Law Number 10 of 2008 adopts a
modified zigzag or zipper model list of candidates and the presence of provisions for fulfilling a 30% quota in every election. has implications for increasing women's
representation in parliament. Suggestions from this research Affirmative Policy should be accompanied by more intensive fulfillment of political education for women, given that there is no significant effect on women's issues, it is better that the quality of human resources needs to be improved. The government needs to carry out comprehensive socialization to the community regarding sustainable women's empowerment in order to strengthen claims in obtaining positions in political and bureaucratic institutions.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan menganalis aturan Hukum mengenai Batas Minimal 30% Kuota Calon Legislatif Perempuan yang diajukan oleh Partai Politik serta mengetahui dan menganalis implikasi terhadap pemberlakuan batas minimal 30% kuota calon anggota legislatif perempuan yang diajukan oleh Partai Politik pada Pemilu Legislatif. Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Hukum (Legal Research) dengan tipe penelitian hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang mengkaji hukum berdasarkan peraturan perundag-undangan. Hasil penelitian ini menunjukan Peluang keterlibatan perempuan dalam ranah politik sudah terbuka lebar saat hadirnya kebijakan affirmative action. Kebijakan ini mensyaratkan kuota yang harus dipenuhi oleh partai politik dalam
menyusun daftar calon anggota legislatif banyak 30 %. Peraturan formal tersebut dikuatkan dengan berbagai peraturan sepertu UU pemilu No.10/2008, UU Pemilu No.8/2012, PKPU No.7/2013 dan UU Pemilu No.7/2017.UU.No.22 Tahun 2007 Terdapat jaminan legal formal bagi perempuan untuk terlibat dalam bidang politik sudah terbuka, namun masih ada kendala yang dihadapi perempuan untuk memasuki ranah politik khususnya sebagai anggota legislatif. Kebijakan afirmatif (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dalam pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa: ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap
Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Hasilnya memang tampak ada kemajuan, secara eksplisit mengharuskan parpol menempatkan sedikitnya 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol sedang Pasal 55 ayat 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 mengadopsi susunan daftar calon model
zigzag atau zipper yang dimodifikasi serta Hadirnya ketentuan pemenuhan kuota 30% pada setiap pemilu berimplikasi pada meningkatnya keterwakilan perempuan di parlemen. Saran dari penelitian ni Kebijakan Afirmatif sebaiknya dibarengi dengan semakin gencarnya pemenuhan Pendidikan politik bagi perempuan, mengingat bahwa belum hadirnya efek yang begitu siginifikan terhadap isu-isu perempuan, maka sebaiknya kualitas sumber daya manusia perlu untuk ditingkatkan. Pemerintah perlu melakukan sosialisi secara menyuluruh kepada masyarakat terkait pemberdayaan perempuan yang berkelanjutan dalam rangka penguatan klaim dalam memperoleh posisi di institusi politik maupun birokrasi.