Abstract

This article discusses the Incentive Policy Analysis of Fees for Transfer of Land and Building Rights (BPHTB) and Income Tax (PPh) on Payment of Tax for Transfer of Land Rights which are a tax burden on party buyers who have previously been reported to the regional revenue service or the Regional Revenue Service and Income Tax. (PPh) namely the imposition of tax on the seller which has previously been reported to the Pratama tax service office. The preparation of this article applies normative-juridical research. Harmonization of Incentive Taxation BPHTB and PPh is based on the Principles of Equity, Revenue Productivity, Certainty, Efficiency, and Simplicity. PTSL BPHTB and PPh Incentive Legal Arrangements provide reductions, relief, or exemption from BPHTB and PPh fees in accordance with the law urging public authorities to charge BPHTB and PPh fees in carrying out land registration. The benchmark that becomes the benchmark is zero tax or zero percent fees. These rules can be seen from Law Number 28 of 2009 concerning Regional Taxes and Regional Levies and Permen ATR/BPN Number 6 of 2018 concerning PTSL.

Abstrak:
Artikel ini membahas mengenai Analisis Kebijakan Insentif Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Pajak Penghasilan Terhadap Pembayaran Pajak Peralihan Hak Atas Tanah yang merupakan pembebanan pajak kepada pembeli pihak yang sebelumnya telah dilaporkan pada dinas pendapatan daerah atau Dispenda dan Pajak Penghasilan yaitu pembebanan pajak kepada pihak penjual yang sebelumnya telah dilaporkan kepada kantor pelayanan pajak pratama. Penyusunan artikel ini menerapkan penelitian yuridis-normatif. Harmonisasi Perpajakan Insentif BPHTB dan PPh didasarkan pada Asas Keadilan, Asas Produktivitas Pembiayaan, Asas Kepastian, Asas Efisiensi, dan Asas Kesederhanaan. Pengaturan Hukum Insentif BPHTB dan PPh PTSL memberian pengurangan, keringanan, atau pembebasan biaya BPHTB dan PPh sesuai dengan undang-undang tadi mendesak otoritas publik untuk membebankan biaya BPHTB dan PPh dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Tolak ukur yang menjadi patokan adalah dengan pembebasan nol biaya (zero tax) atau biaya nol persen. Aturan tersebut dapat dilihat dari UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 Tentang PTSL.

Analisis Kebijakan Insentif Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta Pajak Penghasilan Terhadap Pembayaran Pajak Peralihan Hak Atas Tanah

Meyliana Maulina, Qonita Marseli Putri Yushi, Gandung Surya Saputra, Ghea Riandani Hairy

Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Surel Koresponden:

Abstract:

This article discusses the Incentive Policy Analysis of Fees for Transfer of Land and Building Rights (BPHTB) and Income Tax (PPh) on Payment of Tax for Transfer of Land Rights which are a tax burden on party buyers who have previously been reported to the regional revenue service or the Regional Revenue Service and Income Tax. (PPh) namely the imposition of tax on the seller which has previously been reported to the Pratama tax service office. The preparation of this article applies normative-juridical research. Harmonization of Incentive Taxation BPHTB and PPh is based on the Principles of Equity, Revenue Productivity, Certainty, Efficiency, and Simplicity. PTSL BPHTB and PPh Incentive Legal Arrangements provide reductions, relief, or exemption from BPHTB and PPh fees in accordance with the law urging public authorities to charge BPHTB and PPh fees in carrying out land registration. The benchmark that becomes the benchmark is zero tax or zero percent fees. These rules can be seen from Law Number 28 of 2009 concerning Regional Taxes and Regional Levies and Permen ATR/BPN Number 6 of 2018 concerning PTSL.

Keywords: Policy; Incentives, Land Rights; Income tax;

Abstrak:

Artikel ini membahas mengenai Analisis Kebijakan Insentif Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Pajak Penghasilan Terhadap Pembayaran Pajak Peralihan Hak Atas Tanah yang merupakan pembebanan pajak kepada pembeli pihak yang sebelumnya telah dilaporkan pada dinas pendapatan daerah atau Dispenda dan Pajak Penghasilan yaitu pembebanan pajak kepada pihak penjual yang sebelumnya telah dilaporkan kepada kantor pelayanan pajak pratama. Penyusunan artikel ini menerapkan penelitian yuridis-normatif. Harmonisasi Perpajakan Insentif BPHTB dan PPh didasarkan pada Asas Keadilan, Asas Produktivitas Pembiayaan, Asas Kepastian, Asas Efisiensi, dan Asas Kesederhanaan. Pengaturan Hukum Insentif BPHTB dan PPh PTSL memberian pengurangan, keringanan, atau pembebasan biaya BPHTB dan PPh sesuai dengan undang-undang tadi mendesak otoritas publik untuk membebankan biaya BPHTB dan PPh dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Tolak ukur yang menjadi patokan adalah dengan pembebasan nol biaya (zero tax) atau biaya nol persen. Aturan tersebut dapat dilihat dari UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 Tentang PTSL.

Kata Kunci:Kebijakan; Insentif, Hak Atas Tanah; Pajak Penghasilan;

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang agraris mengingat kekayaan alam indonesia yang memiliki daratan serta perairan yang sangat luas, beserta sumber daya yang melimpah menjadi kekayaan Indonesia. Dalam aspek agraria pada UU No 5 Tahun 1960 meliputi bumi, air dan luar angkasa hal tersebut merupakan sebuah karunia Tuhan YME karena hal tersebut bersifat abadi. Pada negara agraris tanah merupakan aspek yang sangat penting terhadap kelangsungan hidup manusia seperti tempat untuk bertempat tinggal karena tanah memiliki fungsi penting terhadap kesejahteraan dan kemakmuran bagi umat manusia. Tanah merupakan suatu karunia Tuhan YME sebagai bagian dari bumi yang bermanfaat bagi kelangsungan makhluk hidup terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar, membuka lahan usaha, dan juga dapat menjadi alat investasi yang menguntungkan, tanah dapat menjadi pilihan yang menjanjikan pada era global yang dapat dipergunakan masyarakat dalam mengembangkan bisnis. Demi menunjang pembangunan nasional di indonesia memiliki beberapa dalam pemasukan yaitu pajak. Pajak merupakan pungutan yang sifatnya atau dilakukan memaksa serta dilakukan untuk kepentingan negara. Pajak menjadi salah satu sumber pemasukan negara dengan kontribusi besar dalam memberikan anggaran atas pengeluaran negara dalam upaya untuk meningkatkan pembangunan nasional. Proses pelaksanaanya Pajak telah diatur didalam UUD 1945 Pasal 23 huruf (a).

Membayar pajak merupakan sebuah kewajiban bagi semua masyarakat Indonesia. Terdapat dua macam pajak yang harus dibayarkan dalam proses pengalihan hak atas tanah, yang mana berupa Bea Peralihan Hak Atas Tanah (BPHTB) yaitu pembebanan pajak kepada pembeli pihak yang sebelumnya telah dilaporkan pada dinas pendapatan daerah atau Dispenda dan Pajak Penghasilan (PPh) yaitu pembebanan pajak kepada pihak penjual yang sebelumnya telah dilaporkan kepada kantor pelayanan pajak pratama. Ketentuan mengenai PPh telah tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh, undang-undang tersebut secara keseluruhan mengatur terkait sifat, pemotongan maupun pemungutan dari jenis pajak penghasilan, besar jumlah pembayaran, dan mekanisme pembayaran. Pengenaan mengenai jumlah pajak dalam proses perolehan prosedur peralihan tanah diatur pada PP No 71 Tahun 2008 yang mengatur mengenai PPh. Pada pasal 2 menjelaskan bahwa sebelum pelaksanaan akta peralihan atas tanah, pembayaran pajak penghasilan harus dilakukan terlebih dahulu.

METODE

Penyusunan artikel ini menerapkan penelitian yuridis-normatif berupa penelitian hukum doktrinal melalui bahan kepustakaan atau terhadap data sekunder. Spesifikasi studi kepustakaan bahan sekunder terletak pada bahan hukum seperti Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat, hasil-hasil penelitian, hingga bibliografi terkait. Cakupan penelitian hukum kepustakaan atau normatif menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji meliputi: a) asas-asas hukum dalam penelitian; b) penelitian sistematik hukum; c) meneliti taraf sinkronisasi vertikal maupun horizontal yang terjadi; d) perbandingan hukum; dan e) sejarah hukum. Metode pendekatan yang digunakan sesuai dengan pola penggunaan metode penelitian sebelumnya adalah berupa kualitatif yang bertugas dalam menerangkan kejadian dengan pengumpulan fakta dan data secara menyeluruh, kemudian analisis substansi dengan pengamatan kejadian tersebut secara lebih mendalam. Sedangkan bahan hukum yang dipergunakan dalam proses penelitian tulisan ini dapat berupa primer (Pancasila, UUD 1945, dan lain-lain), sekunder (jurnal, artikel, atau berita), dan tersier (kamus maupun ensiklopedi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mulanya, didalam pemungutan pajak terletak beberapa prinsip yang patut dihiraukan dalam melakukan sistem pemungutan pajak, sebelumnya apabila tiap dari ketetapan rancangan undang-undang pada saat dilakukannya pengkodifikasian, terlebih dahulu harus diuji kelayakannya semisal apakah keduanya sudah sesuai dengan tujuan dan asas yang ditegakkan, terkait ketetapan inilah yang nantinya mempermudah dalam mengatur yang dirasa kurang sesuai dengan asas yang sudah ditegakkan. Tidak sedikit para ahli berpendapat mengenai asas-asas yang mengatur terkait penegakan sistem perpajakan guna meningkatkan sistem perpajakan yang ada diantara banyaknya pendapat para ahli tersebut. Salah seorang diataranya ialah Adam Smith (1723-1790) pada bukunya yang berjudul Wealth of Nations dimana didalam bukunya, beliau mengatakan bahwa terdapat adanya Four Canons Taxation atau dikenal dengan The four Maxims (empat asas dalam melakukan pemungutan pajak secara umum) dimana asas tersebut diantaranya ialah:

Asas Keadilan (Equality/Equity), ialah salah satu dari beberapa asas yang ada yang sering menjadi peninjauan terkait dalam menentukan Policy Option yang bermanfaat dalam membangun sistem perpajakan di Indonesia. Pencapaian sistem perpajakan yang sukses ditandai jika masyarakatnya percaya bahwa pemungutan dan pengenaan pajak pada masyarakatnya sudah dilakukan secara adil oleh pemerintah, dan tiap masyarakat sudah membayarnya sesuai akan porsi bagiannya masing-masing. Dan apabila muncul sebuah tanggapan dari Sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa pajak hanyalah upaya dari law enforcement sebagai salah satu upayanya dalam menghindari pemungutan pajak sementara di lain hal sudah terlihat secara langsung bahwa Sebagian masyarakat yang berpenghasilan lebih atau tinggi dianggap sedikit dalam melakukan pembayaran pajak dari berapa jumlah yang harusnya dibayar sebab Sebagian masyarakat yang berpenghasilan tinggi lebih menikmati beberapa fasilitas perpajakan yang ada. Tidak mudah dalam mewujudkan terciptanya suatu kesadaran dan kepatuhan dalam melakukan tanggung jawabnya terkait membayar pajak yang harusnya dilakukan oleh para wajib pajak. Sudah dicantumkan juga didalam sejarah bahwa pajak yang dipungut secara tidak adil akan memberikan dampak yang sangat besar contohnya ialah terjadinya revolusi sosial di perancis dan inggris, oleh sebab itu diperlukan adanya asas keadilan guna ditegakannya ssecara adil dalam melakukan pemungutan pajak dan dijadikan hal mutlak yang seharusnya dipertanggung jawabkan. Keadilan yang terdapat pada Pajak Penghasilan diantaraya ialah Keadilan Vertikal (Vertical Equity) dan Keadilan Horizontal (Horizontal Equity). Seperti yang sudah disebutkan bahwa Horizontal Equity dikatakan bahwa suatu bentuk pemungutan pajak dapat terbilang adil apabila wajib pajak sedang berada didalam suatu keadaan diperlakukan sama atau equal treatment for the equals. Sedangkan Vertical Equity dikatakan terpenuhinya asas ini apabila wajib pajak memiliki kelebihan kemampuan dalam strata ekonominya sehingga diperlakukan tidak sama dengan wajib pajak yang lainnya. Disimpulkan dari penjelasan diatas bahwasanya asas keadilan bukanlah suatu hal yang dijadikan motto saja atau tidak bisa dilakukan, keadilan bagaikan sesuatu yang sulit untuk digapai keberadaannya begitu anggapan tidak masyarakat, dan sebaliknya asas keadilan ini bisa menjadi tolak ukur dalam menjalankan pengimplementasiannya.

Asas Produktivitas Pembiayaan (Revenue Productivity), ialah suatu asas yang lebih masuk kearah kepentingan pemerintah, dapat dikatakan oleh pemerintah yang ada sangkutannya dengan asas ini seringkali dianggap sebagai salah satu asas terpenting, seperti yang diketahui bahwa pajak memiliki fungsi sabagai pengumpul dana yang diberikan oleh masyarakat guna membiayai berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, baik itu pembiayaan rutin pemerintah maupun pembiayaan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, oleh sebab itu didalam pelaksanannya harus dipegang teguh Asas Revenue Productivity, dalam memberikan upayanya melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi terhadap sistem perpajakan nasional turut serta pemeliharaannya terhadap law enforcement, dianggap tidak tercapai apabila hasil yang didapatkan tidak sesuai atau tidak memadai.

Asas Kepastian (Certainty), ialah harus adanya suatu kepastian bagi para petugas pajak maupun seluruh wajib pajak serta masyarakat. Asas ini berisikan terkait siapa saja yang harus diberikan kepastianya dalam membayar pajak. Terkait apa saja yang harus diajdikan objek dalam pemungutan pajak, serta besar jumlahnya pajak yang harus dibayar dan bagaimana caranya agar jumllah hutang pajak dapat terbayarkan. Artinya kepastian tidak hanya menyangkut pada subyek pajaknya saja, akan tetapi obyek, dasar pengenaan, besaran biaya yang dikenakan oleh pajak serta prosedur dalam pemenuhan kewajibannya pun ikut masuk kedalam asas kepastian ini. Asas Kemudahan/Kenyamanan (Convenience), menjelaskan bahwa pada saat dilaksankannya transaksi pajak disarankan dilakukan di waktu tepat yang memudahkan seorang wajib pajak, dimana contoh peristiwa tersebut ialah saat wajib pajak menerima penghasilan/gaji. Asas ini dapat dilakukan pula melalui pembayaran secara bertahap setiap bulan terkait pajak terutang selama 1 (satu) tahun pajak terlebih dahulu.

Asas Efisiensi (Efficiency), terlihat dari 2 sisi yang berbeda yang mana pertama ialah sisi efisiensi aparatur pemungutan pajak jika dilihat dari sisi wajib pajak tarif pemungutan pajak lebih rendah dari total pajak yang seharusnya dikenakan oleh perusahaan pemungut pajak. Efisiensi tersebut dapat dilihat dari didapatkannya tarif pajak serendah mungkin dari yang seharusnya dibayarkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Asas Kesederhanaan (Simplicity), ialah sebuah aturan yang sangatlah alamiah dan tercapai akan kepastiannya serta dipahami oleh para wajib pajak, karena itu dalam melakukan penataannya terhadap UU yang mengatur perpajakan diperlukan perhatian lebih dari adanya asas kesederhanaan ini, pada sistem pajak penghasilan, ditemukan adanya presumptive tax & deemed taxable income (cara perhitungan pajak), dimana pada saat melakukan penghitangannya terhadap wajib pajak yang terhutang, para wajib pajak diberikan akses kemudahan dalam menghitung berdasarkan peraturan anggaran pendapatan netto yang sifatnya hanyalah sebuah dugaan atau sekedar presumsi belaka. Umumnya cara perhitungan pajak seperti ini dikatakan lebih sederhana dibandingkan metode perhitungan pajak yang seharusnya menggunakan pendataan tepat.

Dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan, Pajak penghasilan yang terutang sebenarnya bentuk dari pajak yang sifatnya akhir, disimpulkan jika pajak yang teratur secara mandiri, dan sesuai dengan perundang-undangan bahwasannya pajak pengahsilan itu telah diatur oleh peraturan pemerintah. PPh merupakan pajak yang diberikan untuk seseorang/instansi atas peralihan yang sebelumnya diberikan dan sudah didapatkan. pada UU PPh pajak yang yang dikenakan ialah akhir berdasarkan Pasal 4 ayat 2 diantaranya tabungan, deposito, serta tabungan-tabungan dan lain-lain. Proses perpajakan diatur didalam peraturan pemerintah. Dimana landasan konstitusional telah termaktub didalam Pasal 23 UUD 1945 yang mengatakan bahwa segala pajak untuk kepentingan negara sudah ditentukan didalam UU. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 juga mengatakan bahwa Presidenlah yang memastikan Peraturan Pemerintah guna menjalankan UU. Dan peraturan pemerintah ini dibentuk hanyalah untuk terselenggaranya UU.

Ketika pemerintah mencetuskan beberapa ketentuan yang mana diantaranya ialah PP Nomor 71 Tahun 2008, tidak sedikit orang mempermasalahkan, sebab ketetapan tersebut bertentangan dan dianggap belum imbang pada Undang-undang yang mengatur perpajakan, contohnya pungutan yang ada bukan dari Peraturan Pemerintah melainkan diatur didalam Undang-undang. Dan materi bawaan yang diatur didalam Undang-undang Pajak, baik itu penjelasan maupun penguaiannya agar terkajinya suatu persoalan materi muatan Peraturan Pemerintah terhadap Undang-undang pajak, setidaknya perlu diperhatikan kembali dengan mengedepankan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku hingga kini. Seperti yang diketahui, Undang-undang diberikan kuasa dalam menyerahkan kepada peraturan pemerintah untuk menentukan jumlah besar atau rendahnya tarif pajak yang nantinya akan diberikan dengan syarat tidak melebihi bea umum yang sebelumnya berlaku sesuai UU itu sendiri.

Ketentuan yang menata agar terlaksananya pembayaran pajak sebelum peralihan hak dilakukan memiliki tujuan agar meningkatkan sikap kepatuhan masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai wajib pajak sehingga penghasilan untuk negara dari bagian pajak terjadi peningkatan seiring berjalannya waktu. Sementara pajak yang diminta Pemerintah Daerah diantaranya Tarif BPHTB sudah termaktub didalam UU Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pasal 1 menyatakan bahwa BPHTB ialah pajak yang dikenakan atas pendapatan hak atas tanah dan bangunan. Tarif BPHTB ialah pengenaan pajak atas pendapatan hak atas tanah dan bangunan, perbuatan ini menyebabkan didapatkannya hak tersebut oleh pribadi/Instansi. Hak tersebut ialah hak terhadap tanah termasuk pemberdayaannya, beserta bangunan yang berada diatasnya. Pengaturan pembayaran pajak dimana sebelum terjadinya penandatanganan terhadap akta, risalah rapat maupun surat keputusan baik dibidang PPh maupun didalam bidang BPHTB, dikatakan bertentangan pada Asas Convenience.

Dengan membuat pertimbangan kembali dari adanya Peraturan Pemerintah bahwa peraturan tersebut diterbitkan dengan adanya pertimbangan terlebih dahulu sebagaimana fungsinya untuk menumbuhkan kepatuhan para masyarakat sebagai wajib pajak dimasa kini dianggap kurang tepat sebab adanya proses modifikasi pewarisan hak berkaitan dengan hak atas tanah dan bangunan, dan untuk instansi-instansi lain yang menerima hak tersebut. Dan teruntuk instansi-instansi yang terkait dalam artian yang mengikuti pengalihan hak atas tanah dan bangunan tersebut sebelumnya sudah dibuat peraturannya terlebih dahulu yang dianggap bisa membantu dalam memberikan pelayanan untuk para pihak yang terkait pada peralihan hak atas tanah tersebut.

  1. Harmonisasi Perpajakan Insentif BPHTB dan PPh
  2. Pengaturan Hukum Insentif BPHTB dan PPh PTSL

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 Tentang PTSL merupakan kelangsungan kegiatan berpola teratur dilakukan oleh Pemerintah, yang mana meliputi beberapa tahap berupa pencarian dan pengolahan data fisik maupun data yuridis, termasuk keluarnya sertipikat sebagai bukti kepemilikan dan pembebanan hak-hak atas tanah tertentu. Peraturan tersebut terdapat pula dalam Pasal 19, 23, 32, dan 38 UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Pendaftaran tanah ditujukan sebagai wadah payung hukum pemegang hak atas tanah mengenai kepemilikan tanahnya. Fungsi pokoknya adalah sebagai tameng perlindungan bagi pemilik tanah berupa unsur kepemilikan seperti nama pemilik, hak, status, luas, penggunaan, dan lain sebagainya sehubungan dengan bidang tanah. Dikeluarkannya sertipikat adalah hasil yang didapatkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah perwujudan perlindungan hukum dan kepastian hukum hak atas tanah di Indonesia, penyediaan informasi secara terbuka dan umum kepada pihak yang berkepentingan dalam memperoleh data terhadap pencantuman atau pendaftaran hak atas tanah, dan terselenggaranya tertib administrasi dalam beberapa aspek, baik dari pembebanan, peralihan, hapusnya hak, maupun hak milik satuan atas rumah dan tanah. Penyelenggaraan tertib administrasi yang dimaksud di atas bertujuan untuk mengurai konflik pertanahan yang terjadi, misalnya pada tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah maupun kepemilikan sertipikat ganda yang marak terjadi saat ini. Dalam penyelenggaraan tersebut, terdapat beberapa kewajiban yang dibebankan, salah satunya berupa pembayaran pajak.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Permen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 Tentang PTSL merupakan proses pengumpulan data fisik maupun yuridis dengan serentak dalam kesatuan desa/kelurahan atau nama lain yang diperkenankan pada seluruh wilayah Republik Indonesia, yang mana didalamnya memuat keperluan pendaftaran berupa Objek Pendaftaran Tanah baik satu maupun beberapa. Penetapan Target PTSL dimaksudkan untuk mendaftarkan dan menyertipikatkan bidang tanah di Indonesia secara konsisten berupa 126 juta bidang tanah hingga tahun 2025. Yang mana dimulai pada tahun 2017 dengan target 5 juta bidang dan tahun selanjutnya yang meningkat masing-masing 2 juta bidang tanah. Target yang ditetapkan bukanlah hal yang mudah, yang mana banyak pihak beranggapan hal tersebut hanya pencitraan, ambisi, maupun kepentingan politik, mengingat praktik lapangan tidak lebih dari 50% target yang tercapai. Sehingga, pemecahan yang belum memenuhi target program tersebut, nantinya akan dilakukan percepatan pada Program PTSL yang diselenggarakan oleh Kementerian ATR/BPN. Perbedaan PTSL dengan program sebelumnya terletak pada klasifikasi data yuridis bidang tanah, yang mana kelengkapan data yuridis bidang tanah menjadi kunci pokok dalam penerbitan sertipikat.

Untuk pelaksanaan dan pembiayaan kegiatan PTSL kebanyakan dibebankan kepada Pemerintah yang tercantum dalam Pasal 40 Pendaftaran Tanah berdasarkan Pasal 1 Angka 1 PerMen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 Tentang PTSL mengenai sumber-sumber pembiayaan yang dapat berasal dari (1) Daftar Isian Program Anggaran (DIPA) Kementerian; (2) APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) Provinsi/Kabupaten/Kota; (3) Badan hukum swasta, BUMN/BUMD, maupun Corporate Social Responsibility (CSR); (4) Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait program Sertipikat Massal Swadaya (SMS) menggunakan Dana Masyarakat; maupun (5) Penerimaan lain yang sah dengan mekanisme APBN dan/atau PNBP berupa pinjaman (loan) swasta, hibah (grant) atau dalam bentuk lain. Pembebanan biaya sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri sebesar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) bagi daerah Jawa dan Bali terhadap pemohon PTSL adalah untuk warkah, patok/tanda batas, materai, serta bagi Panitia Desa berlaku pembebanan transportasi. Biaya tadi belum termasuk dalam biaya BPHTB dan PPh. Sehingga, pemberian pengurangan/keringan/pembebasan BPHTB dan PPh oleh Mendagri hanya jika diperintahkan atau disampaikan kepada Bupati/Walikota.

Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pembebanan pajak atas peralihan hak atas tanah tanah maupun bangunan. Pengenaan pajak berkaitan dengan menjamin kepastian hukum kepimilikan atas tanah yang didaftarkan oleh individu maupun badan hukum di kantor pendaftaran tanah Kabupaten/Kota, dan memerlukan pengalihan atau pemberian hak atas tanah. Perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang muncul dalam proses pendaftaran tanah berupa jual beli, hibah, lelang, waris, hibah wasiat, maupun tukar menukar. Menilik pemeliharaan data maupun pendaftaran tanah pertama kali, pembebanan pembiayaan BPHTB dan PPh menjadi syarat utama dalam permohonan pendaftaran tanah. Karena adanya faktor pembiayaan BPHTB dan PPh inilah yang menyebabkan sebagian besar pemilik tanah enggan untuk mendafatarkan tanahnya, hal tersebut bermula dari pembayaran Biaya Administrasi Pendaftaran Tanah berdasarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis Penerimaan Negara bebas Pajak dan Bea Masuk untuk Departemen Pertanahan dan Masyarakat juga di haruskan membayar biaya BPHTB dan PPh. Oleh karena itu, munculnya program PTSL yang memberikan keringanan/pengurangan/pembebasan BPHTB dan PPh dalam rangka mendorong percepatan Program PTSL.

Pengalihan BPHTB dan PPh sebagai syarat pendaftaran tanah menjadi pajak daerah dimulai dengan penyusunan pedoman sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 95 Ayat (1). UU tersebut berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011, yang didalamnya diatur terkait bentuk pengalihan dan muatan BPHTB dan PPh menjadi pajak Kabupaten/Kota. Bentuk pengalihan tersebut diupayakan dalam mencapai efektivitas dan sistematisasi pelayanan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam hal pengaturan otonomi daerah. Beberapa ketentuan umum mengenai peralihan BPHTB dan PPh antara pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut (1) Pemungutan pajak dilakukan sampai tanggal 31 Desember yang dimasukkan ke dalam kas negara dan dibagi ke daerah sesuai peraturan oleh Pemerintah Pusat (Direktorat Jenderal Pajak); (2) Pengaturan kesiapan peralihan pajak oleh Menkeu bersama-sama Mendagri; dan (3) Penerbitan peraturan daerah mulai tanggal 1 Januari 2011 menentukan pemungutan daerah terhadap pajak dimasukkan ke keuangan daerah.

Jika melihat Pasal 95 Ayat (4) huruf a UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjelaskan terkait kebijakan pemberian insentif bagi pembayaran biaya peralihan hak atas tanah terhadap BPHTB dan PPh dalam Program PTSL. Pengurangan BPHTB dan PPh tersebut sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan salah satu bentuk upaya hukum untuk memperoleh maupun mendapatkan keringanan pembayaran pajak sesuai hak wajib pajak. Hal tersebut timbul dari keresahan masyarakat mengenai besarnya biaya pendaftaran maupun sertipikasi tanah. Selain itu, proses pendaftaran tanah yang dilakukan secara berbelit-belit mempengaruhi minat masyarakat dalam mendaftarakan tanahnya.

Pemberian pengurangan, keringanan, atau pembebasan biaya BPHTB dan PPh sesuai dengan undang-undang tadi mendesak otoritas publik untuk membebankan biaya BPHTB dan PPh dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Untuk menilai kesungguhan otoritas publik dalam melaksanakan program pendaftaran tanah, tolak ukur yang menjadi patokan adalah dengan pembebasan nol biaya (zero tax) atau biaya nol persen. Alasan pengurangan, keringanan, atau pembebasan biaya BPHTB dan PPh tersebut adalah untuk mempercepat pengumpulan informasi bagi pejabat publik dalam menjamin program pendaftaran tanah di Indonesia, sehingga tidak membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemikiran tersebut didasari 3 (tiga) hal, yakni (1) Pembebanan bagi setiap tanah dan/atau barang yang ditukarkan; (2) Pembuktian suatu akta tidak perlu dilakukan saat penukaran, sehingga tidak mungkin memberatkan; dan (3) Tidak melihat biaya yang harus dibayar.

Bagi orang-orang yang membutuhkan, pemberian biaya nol persen (pembebasan biaya) BPHTB dan PPh ini sebenarnya hanya dapat dilakukan secara ekspilit untuk mendaftarkan tanahnya. Hal ini sesuai dengan Pernyataan Pendeta ATR/BPN Nomor 261/KEP-7.1/XI mengenai Pengesahan Kemerdekaan Tanah Bagi Pemegang Kartu Keluarga Sejahtera sebagai bantuan terhadap biaya perkiraan, biaya pemeriksaan tanah, kemudahan, pemanfaatan, dan transportasi dengan pembebanan kepada Struktur Permohonan Rencana Keuangan DIPA Kementerian. Pasal 33 PerMen ATR/BPN No. 6 Tahun 2018, yang memberikan ruang kemudahan dalam pelaksanaan program PTSL, bagi yang tidak atau belum mampu membayar PPh dan BPHTB dengan membuat surat pernyataan PPh dan BPHTB terhutang. Mekanisme ini memerlukan mengambil keikhlasan dari pemerintah untuk membebasakan biaya BPHTB dan PPh bagi pendaftaran tanah pertama kali, yang diantaranya dapat dilakukan dengan (1) Revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri dalam hal pembebasan BPHTB dan PPh dengan ikut serta Menteri Keuangan; (2) Revisi klausul pembebasan biaya nol persen bagi BPHTB dan PPh yang terutang; dan (3) Penindaklanjutan SKB oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur, jika belum diatur dalam Peraturan Daerah. Jika telah ada pengaturannya dalam Peraturan Daerah, maka harus dilakukan revisi. Ketentuan ini bermaksud untuk menggerakkan dan menarik minat masyarakat sehingga mendaftarkan tanahnya, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, pemberian kepastian dan perlindungan hukum, dan meminimalisir sengketa yang mungkin saja timbul.

KESIMPULAN

Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan atas peralihan hak atas tanah tanah dan/atau bangunan. Hak atas tanah dan bangunan merupakan hak yang melekat pada tanah termasuk pemanfaatannya, beserta bangunan yang berada diatasnya seperti yang tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Harmonisasi pajak yang diketahui berdasarkan asas-asas berikut, yaitu Asas Keadilan, Asas Produktivitas Pembiayaan, Asas Kepastian, Asas Kemudahan/Kenyamanan, Asas Efisiensi, dan Asas Kesederhanaan. Pengenaan terkait dengan pemberian atau peralihan hak atas tanah harus didaftarkan oleh perseorangan atau kelompok kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk menjamin kepastian hukum kepemilikan atas tanah. Bagi orang-orang yang membutuhkan, pendaftaran tanah pertama kali dengan pemberian biaya nol persen BPHTB dan PPh sesuai dengan Pernyataan Pendeta ATR/BPN Nomor 261/KEP-7.1/XI tentang Pengesahan Kemerdekaan Tanah Bagi Orang Pribadi Yang Memiliki Kartu Keluarga Sejahtera sebagai bantuan terhadap biaya perkiraan, biaya pemeriksaan tanah, kemudahan, pemanfaatan, dan transportasi dapat dilakukan. Begitu pula pada Pasal 33 PerMen ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018, yang memberikan ruang kemudahan dalam pelaksanaan program PTSL, bagi yang tidak atau belum mampu membayar PPh dan BPHTB dengan membuat surat pernyataan PPh dan BPHTB terhutang.

REFERENSI

References