Abstract

This article reveals efforts to overcome sexual violence against women and children in the city of Makassar and the factors that influence efforts to overcome sexual violence against women and children in the city of Makassar. The empirical research method was chosen to describe the legal reality in the community in an area that became the research location. The results of this study indicate that efforts to overcome sexual violence against women and children in the city of Makassar are still not maximized. Efforts to overcome sexual violence against women and children in Makassar City carried out by the PPA Unit of the Sul-Sel Regional Police are in the form of pre-emtif, preventive, and repressive efforts. The factors that influence countermeasures carried out by investigators are external and internal factors which include the lack of quantity and quality of investigators, lack of facilities and infrastructure, lack of operational costs, lack of evidence, and lack of community participation.

Abstrak:

Artikel ini mengungkapkan upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kota makassar serta faktor-faktor yang memengaruhi upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kota makassar. Metode penelitian empiris dipilih untuk mendeskripsikan kenyataan hukum pada masyarakat pada sebuah wilayah yang menjadi lokasi penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kota makassar masih kurang maksimal. Upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kota makassar yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yaitu berupa upaya pre-emtif, preventif, dan upaya represif. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penanggulangan yang dilakukan oleh penyidik berupa faktor eksternal dan internal yang meliputi kurangnya kuantitas dan kuaitas penyidik, kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya biaya operasional, kurangnya alat bukti, serta kurangnya partisipasi masyarakat.

Nurul Izzah, Muhammad Azwad Rachmat Hambali, Sutiawati Sutiawati

Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia

Surel Koresponden: izzahnurul2603@gmail.com

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara hukum yang menghormati dan mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia, dengan dasar yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28G UUD NRI 1945 menetapkan hak setiap individu untuk memperoleh perlindungan atas diri sendiri, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dimilikinya, serta hak untuk merasa aman dan terlindungi dari ancaman atau rasa takut dalam menjalankan atau tidak menjalankan sesuatu yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal yang sama juga menjelaskan tentang hak untuk terbebas dari penyiksaan serta perlakuan yang merendahkan martabat dan nilai kemanusiaan. Dalam Pasal 33 Ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga ditegaskan “ Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.” Kekerasan bisa terjadi di berbagai lingkungan, baik dalam ranah domestik maupun publik, serta dapat menimpa siapa saja dan kapan saja. Kekerasan dapat di alami oleh perempuan maupun laki-laki dan dapat terjadi pada dewasa atau pada anak-anak. Pelaku Isu kekerasan bukan merupakan hal yang asing dan beredar di sekitar kita. Pelaku bisa saja merupakan orang terdekat, memiliki hubungan sedarah, atau dapat dilakukan oleh orang yang tidak dikenal.

Salah satu kekerasan yang menonjol adalah kekerasan seksual yg menimpa perempuan dan anak sebagai kelompok rentan. Di kalangan masyarakat terdapat stigma yaitu lemah dan tidak berdaya yang melekat pada perempuan dan anak – anak. Korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan anak-anak yang jumlahnya semakin hari semakin meningkat. Pada Undang-Undang, kekerasan seksual telah diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UUTPKS Menekankan pada hak penyintas untuk mendapatkan pendampingan, restitusi dan layanan pemulihan dengan mengambil perspektif korban dalam penanganan kasus kekerasan seksual, korban dapat melaporkan kejahatan tersebut yang telah dialami tanpa khawatir dipersalahkna. Pendekatan yang digunakan dalam UUTPKS didasarkan pada pendekatan hukum yang perpektifnya dari sudut pandang perempuan atau sering dikenal sebagai Feminist Jurisprudence dengan menggunakan metode yang berfokus untuk terus menggali apa yang dibutuhkan oleh perempuan, apa yang diinginkan oleh perempuan dan mempertimbangkan segala pengalaman konkret dari seorang perempuan. Serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Allah SWT pun berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 33:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْۗ وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۝٣٣

terjemahannya : “Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, jika mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.” (QS. An-Nur:33)

Dalam Islam, melakukan kekerasan seksual merupakan dosa besar dan hukumnya haram. Islam pun menetapkan sanksi yang berat bagi pelaku kekerasan seksual terutama kepada pelaku yang merupakan orang dewasa dan melakukannya pada anak dibawah umur, hukuman atau sanksi ini akan memberikan efek jera kepada pelakunya. Oleh sebab itu, anak akan terbebas dari tindak kekerasan seksual. Kasus kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan di Kota Makassar masih terbilang tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar pada tahun 2023 terdata korban kekerasan seksual pada anak dan perempuan sebanyak 558 kasus. Kekerasan yang menimpa anak menempati posisi pertama yaitu 261 kasus dan kekerasan yang menimpa perempuan dengan jumlah 104 kasus berada pada peringkat kedua. Dari jumlah itu maka kekerasan yang terjadi di Kota Makassar pada tahun 2023 didominasi kekerasan seksual pada anak. Adapun rumusan masalah yakni: pertama, bagaimanakah upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kota Makassar? Kedua, faktor - faktor apakah yang mempengaruhi upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kota Makassar?. Untuk itu penulis menganggap masih perlunya di adakan upaya-upaya untuk menanggulangi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kota Makassar disebabkan jumlah kasus masih terbilang tinggi. Upaya yang dapat digunakan yaitu upaya pre-emtif, upaya preventif, upaya represif.

METODE

Tipe penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode empiris. Penelitian hukum empiris menggunakan studi kasus hukum empiris berupa perilaku hukum masyarakat, yang memfokuskan pada isu hukum sebagai masalah tentang adanya kesenjangan antara keharusan yakni perintah dan larangan (das sollen & das seint). Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di Makassar, lebih khususnya di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan lokasi Lokasi penelitian ini dipilih karena penulis menganggap lokasi ini dinilai representative untuk mewakili penelitian dalam menganalisis Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak di Kota Makassar. Data-data yang telah diperoleh baik data primer maupun data sekunder kemudian akan diolah dan dianalisis untuk menghasilkan kesimpulan, kemudian disajikan secara deskriptif, guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian nantinya sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dan Anak Di Kota Makassar.

Perempuan dan anak dikelompokkan pada posisi yang rentan, pandangan ini tidak didasarkan pada kenyataan biologis atau kemampuan individu melainkan pada stereotip yang menempatkan mereka pada posisi subordinat yaitu mereka dianggap lebih rendah dibanding laki-laki. Banyak kasus perempuan dan anak dihadapkan pada situasi yang memaksa mereka bergantung pada laki-laki, baik secara ekonomi maupun keputusan sehari-hari. Ketergantungan ini sering kali berujung pada peningkatan risiko kekerasan, eksploitasi, dan penindasan tentunya ini memengaruhi kesejahteraan fisik dan mental mereka. Kekerasan yang sering kali mereka alami yaitu kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan membutuhkan perhatian khusus terlebih lagi kasus kekerasan seksual dilaporkan masih saja terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data kasus kekerasan seksual di kota Makassar yang ditangani oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Unit PPA Polda Sul-Sel) dalam rentang waktu tahun 2021-2023 menunjukkan angka yang cukup besar. Jumlah laporan yang masuk dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Data Kasus Kekerasan Seksual di Kota Makassar

Tahun Lapor Selesai
2021 910 616
2022 1447 1152
2023 1791 1504
Jumlah 4229 3272

Sumber Data: Ditreskrimum Polda Sul-Sel Tahun 2024

Data pada tabel di atas menunjukkan terjadinya peningkatan di tiap tahunnya pada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kota Makassar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Pada tahun 2021 tercatat laporan yang masuk pada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) sebanyak 910 kasus dan pada tahun 2022 mengalami peningkatan menjadi 1447 kasus kemudian pada tahun 2023 menunjukkan angka yang lebih besar sebanyak 1872 kasus. Berdasarkan data pada tabel di atas, di uraikan beberapa jenis kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh penyidik yaitu pencabulan/asusila, percobaan pemerkosaan, perkosaan, setubuhi anak di bawah umur, pencabulan anak, pornografi, dan pelecehan.

Dari jenis kasus tersebut, tercatat kasus yang paling banyak terlapor pada tahun 2021 yaitu pencabulan anak sebanyak 426 kasus terlapor namun hanya 286 kasus yang selesai ditangani. Proses penyelesaian perkara anak sebagai korban pencabulan diselesaikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sangat memperhatikan pendampingan dari psikolog atau pekerja sosial untuk memastikan anak merasa aman selama proses hukum berlangsung. Perlunya perlindungan intens bagi anak yang menjadi korban kekerasan agar terhindar dari perasaan takut atau trauma pasca terjadinya kekerasan tersebut memang harus diberikan oleh para penegak hukum yang mempunyai kewenangan, apalagi beberapa hal-hal yang ditakutkan salah satunya adalah adanya tindakan berulang atau kekerasan yang dilakukan berulang-ulang terhadap anak yang akan memberikan dampak buruk bagi situasi dan kondisi anak. Kasus yang menduduki posisi kedua dari banyaknya kasus terlapor pada tahun 2021 yaitu pencabulan/asusila sebanyak 238 dan jumlah kasus yang dapat diselesaikan sebanyak 156 kasus. Penyelesaian kasus ini rata-rata diselesaikan melalui jalur restorative justice yang diinginkan oleh korban. Dalam beberapa kasus, keluarga pelaku menawarkan kompensasi dan korban beserta keluarganya menerimanya sebagai bentuk penyelesaian. Kemudian laporan mengenai kasus setubuhi anak dibawah umur menempati posisi ketiga banyaknya kasus terlapor pada tahun 2021 dengan jumlah laporan 171 dan kasus diselesaikan sebanyak 129.

Kemudian pada tahun 2022 kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan yaitu sebanyak 1447 kasus terlapor dan kasus yang diselesaikan sebanyak 1152 kasus . Begitu pula pada tahun 2023, kasus kekerasan seksual masih terus saja mengalami peningkatan sebanyak 1872 kasus terlapor dan 1504 kasus yang telah di tangani.

Dari kasus yang terlapor pada tahun 2022 dan 2023, pencabulan anak masih saja menduduki peringkat pertama dari jumlah banyaknya kasus terlapor yaitu sebanyak 743 kasus pada tahun 2022 dan 1068 kasus pada tahun 2023. Pada tahun 2022 juga tercatat jumlah kasus pencabulan/asusila sebanyak 332 kasus, 201 kasus setubuhi anak dibawah umur, 84 kasus perkosaan, 48 kasus pornografi, 35 percobaan pemerkosaan dan 4 kasus pelecehan seksual.

Kemudian pada tahun 2023 tercatat jumlah kasus pencabulan/asusila sebanyak 337 kasus, 218 kasus setubuhi anak dibawah umur, 65 kasus perkosaan, 48 kasus pornografi, 27 percobaan pemerkosaan dan 28 kasus pelecehan seksual. Peningkatan kasus ini tentunya diakibatkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi. Dari hasil wawancara dengan penyidik pada Unit PPA Polda Sul-Sel, peneliti memperoleh beberapa penjelasan mengenai faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual yaitu:

Faktor keluarga menjadi penyebab paling utama dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi perempuan terutama bagi anak, namun pada kenyataannya kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh orang terdekat seperti keluarga ataupun kerabat korban.

Seluruh penyidik menerangkan bahwa terkait keluarga menjadi faktor yang paling utama dalam terjadinya kasus kekerasan seksual. Mereka menerangkan bahwa dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, pelaku justru bukan dari orang lain melainkan orang terdekat korban seperti ayah tiri, paman, dan juga sepupu korban yang mana mereka biasanya tinggal seatap dan kekerasan seksual ini terjadi saat keadaan rumah sepi yang di dalamnya hanya ada korban dan juga pelaku.

Dari berbagai kasus yang ada, banyak pelaku perkosaan terhadap anak justru dilakukan oleh orang yang mengenal dan cukup dekat dengan anak yang bersangkutan, bahkan ada pelaku orang yang memiliki hubungan keluarga dengan anak itu sendiri, hubungan tetangga atau sudah mengenal anak itu sebelumnya. Hal inilah sering membuat anak mendiamkan pelecehan ataupun perkosaan yang ia alami, karena keluarga yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak dan memberikan perlindungan bagi anak justru menjadi tempat kejahatan seksual dalam hal ini perkosaan terhadap anak itu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korbanperkosaan agar pelaku atau orang yang terlibat di dalamnya dapat dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Kasus yang paling banyak terjadi pada lingkup keluarga yaitu pencabulan terhadap anak. Awalnya pelaku melakukan pencabulan seperti menyentuh dan meraba tubuh korban dan hal ini berulang kali dilakukan sampai pada saat terjadinya pemerkosaan. Setelah terjadinya pemerkosaan barulah biasanya kekerasan seksual yang menimpa korban anak tersebut terungkap karena pemerkosaan meninggalkan bekas pada fisik korban yang terlihat jelas dan juga terjadi perubahan sikap oleh anak.

  1. Faktor Keluarga
  2. Faktor Lingkungan

Kekerasan seksual merupakan sebuah kejahatan yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya yaitu faktor lingkungan seperti dapat dipengaruhi oleh peran pelaku maupun posisi korban, pengaruh perkembangan budaya pada lingkungan korban, dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan korban.

Peran pelaku maupun posisi korban memiliki dinamika yang kompleks. Pelaku sering mencari situasi dan kondisi di mana korban berada pada posisi rentan seperti saat sendirian, berada dalam lingkungan yang tidak aman misalnya saat sendirian, berada pada lingkungan yang sepi atau jauh dari keramain, sunyi dan juga gelap atau sedang di bawah pengaruh alkohol maupun narkoba.

Faktor lingkungan lainnya yang seperti pengaruh budaya yang menganggap posisi laki-laki lebih dominan yang menempatkan perempuan atau kelompok rentan lainnya pada posisi yang lebih rendah dalam hierarki sosial yang berpendapat bahwa lelaki lebih memiliki kontrol penuh terhadap perempuan dan ini dapat memberikan anggapan terhadap laki-laki bahwa mereka tidak akan di hukum sebab perempuan maupun anak sebagai kelompok rentan akan merasa malu, merasa bersalah, dan juga takut untuk melapor.

Lingkungan pergaulan saat ini juga dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual. Zaman yang semakin modern memberikan kemudahan untuk berkomunikasi secara luring dan dapat di akses oleh semua kalangan, ini memberikan kebebasan untuk bertemu dengan orang lain dari semua kalangan usia dan meliputi bebasnya pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan. Tidak ada pembatasan antara yang seharusnya boleh dilakukan dengan yang dilarang mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan. Tingkat kontrol masyarakat yang rendah ini menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapat pengawasan dari masyarakat karena sebagian besar masyarakat menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa terjadi pada zaman sekarang ini.

  1. Faktor Ekonomi

Kondisi ekonomi yang buruk dapat memaksa seseorang untuk hidup dalam situasi beresiko tinggi, seperti tinggal pada kawasan kumuh yang memiliki kondisi jalan yang sempit dan gelap tentunya ini menjadi lokasi ideal bagi pelaku untuk melakukan kekerasan seksual tanpa terdeteksi. Ekonomi yang lemah juga memaksa seseorang untuk melakukan pekerjaan yang membahayakan yang sangat rentan terjadinya kekerasan seksual.

Dalam beberapa kasus mereka terjebak dalam hubungan berbahaya karena ketergantungan finansial pada pelaku. Sehingga saat kekerasan seksual itu terjadi mereka memilih diam karena khawatir kehilangan dukungan finansial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual ini tentunya diharapkan agar dilaksanakannya upaya-upaya untuk menanggulangi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak khususnya di kota Makassar.

Pelaksanaan penegakan hukum di tingkat penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sul-Sel). Tanpa penegakan hukum yang efektif oleh kepolisian, pelaku kekerasan seksual mungkin merasa bebas dari hukuman, yang dapat memperburuk situasi dengan meningkatnya jumlah kasus. Maka dari itu dilakukannya upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak oleh pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, khususnya aparat kepolisian pada Unit PPA Polda Sul-Sel yaitu dengan melakukan upaya-upaya sebagai berikut:

Upaya pre-emtif adalah tindakan yang diambil untuk mencegah terjadinya kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi, dengan melenyapkan faktor-faktor yang dapat memicu perilaku kriminal. Adapun upaya pre-emtif yang dilakukan oleh aparat kepolisian yaitu dengan melakukan penyebaran informasi di sosial media. Penyebaran konten edukasi untuk menyebarkan informasi terkait kekerasan seksual kepada masyarakat dianggap efektif karena jangkauannya yang lebih luas. Konten yang disebarkan seperti “SAPA 129”.

“SAPA 129” merupakan layanan pengaduan yang dapat dihubungi jika terjadi kekerasan seksual. Selain itu juga menyebarluaskan konten terkait mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual dan cara pencegahannya. Konten-konten yang disebarkan diharapkan dapat mengedukasi masyarakat tentang dampak hukum dari kekerasan seksual juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang ancaman kekerasan seksual dan cara pencegahannya.

Selain itu aparat kepolisian juga menyebarkan berita tentang kasus kekerasan seksual yang telah ditangani, ini dianggap penting dilakukan guna memberikan contoh nyata kepada masyarakat untuk memperlihatkan bahwa sistem hukum dan masyarakat serius dalam menangani kasus kekerasan seksual, ini dapat memotivasi korban lain untuk melaporkan kejadian serupa.

Isi Upaya preventif merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan namun pada upaya preventif ini lebih bersifat antisipasi langsung terhadap risiko yang sudah mulai terlihat.

Upaya preventif yang dilakukan oleh aparat kepolisian yaitu dengan melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat. Aparat kepolisian terjun langsung untuk melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat untuk menunjukkan kehadiran aktif aparat kepolisian di tengah masyarakat, sehingga membangun kepercayaan terhadap masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman.

Melalui penyuluhan, masyarakat diberi pengetahuan tentang cara menghindari situasi berisiko dan melaporkan kejahatan dengan cepat. Ini juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga mereka dapat memahami dan mematuhi hukum serta mampu memperjuangkan hak-haknya dengan benar.

Penyuluhan ini biasanya paling sering dilakukan di sekolah untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak. Mengingat anak sebagai objek kekerasan seksual yang paing rawan sehingga sangat penting untuk mengedukasi sejak dini akan pentingnya pengetahuan mengenai kekerasan seksual. Tidak hanya kepada anak-anak, aparat kepolisian juga melakukan penyuluhan kepada orang tua tentang peran mereka dalam melindungi anak dari kekerasan seksual karena keluarga merupakan rumah utama bagi seorang anak.

Penyuluhan yang dilakukan oleh aparat kepolisian biasanya melibatkan kerja sama dengan pihak lain untuk memastikan penyampaian materi yang komprehensif seperti mengadakan menyuluhan hukum Bersama UPT PPA Kota Makassar (Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak). Ataupun bekerjasama dengan pihak akademisi untuk melakukan penyuluhan di kampus-kampus guna membangun lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.

  1. Upaya Pre-Emtif
  2. Upaya Preventif
  3. Upaya Represif

Upaya represif yaitu upaya yang dilakukan setelah terjadinya kejahatan. Upaya represif merupakan langkah yang diambil oleh penyidik setelah tindak pidana kekerasan seksual terjadi, dengan tujuan menegakkan hukum, memberikan efek jera kepada pelaku, dan memberikan keadilan bagi korban. Upaya Represif yang dilakukan oleh penyidik Unit PPA Polda Sul-Sel berupa: 1). Penyelidikan dan Penyidikan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima laporan yang masuk pada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Setelah laporan masuk, penyidik mulai melakukan penyelidikan untuk mencari apakah suatu peristiwa yang dilaporkan merupakan tindak pidana. Saat peristiwa tersebut ternyata merupakan tindak pidana maka penyidik melanjutkan pada proses penyidikan dengan mencari alat bukti seperti membantu korban untuk mendapatkan hasil visum untuk pemenuhan alat bukti. Selanjutnya saat tercukupinya dua alat bukti maka dilakukan pemeriksaan dan pemanggilan terhadap korban, saksi, maupun pelaku untuk mendapatkan kronologi yang jelas. Penyidik melakukan profiling pelaku seperti menelusuri identitas dan lokasi pelaku melalui jejak digital kemudian dilakukan penangkapan dan mengamankan pelaku untuk mencegah pelaku melarikan diri. Setelah itu dilakukan penyusunan dokumen kasus secara lengkap untuk dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU). Penyidik bekerja sama dengan JPU untuk memastikan proses hukum berjalan hingga ke tahap persidangan. 2). Pendampingan Proses Hukum bagi Korban. Penyidik dalam menangani kasus kekerasan seksual juga melakukan pendampingan terhadap korban. Penyidik mengupayakan proses pendampingan bagi korban seperti pemulihan dan melindungi identitas korban bertujuan untuk mencegah trauma lanjutan dan menjaga keselamatan korban selama proses hukum berlangsung.

Penyidik melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak), dan UPT PPA Kota Makassar (Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak). Kerja sama ini bertujuan untuk menciptakan penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak hanya berfokus pada hukuman bagi pelaku tetapi juga memberikan perlindungan, pendampingan, dan pemulihan bagi korban sehingga aspek keadilan dan kemanusiaan tetap terjaga, ini sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Penyidik tidak hanya bertugas mengumpulkan bukti dan menyelesaikan kasus hukum, tetapi juga berperan dalam mendukung proses pemulihan korban kekerasan seksual. Penyidik merujuk korban ke psikolog, konselor, atau layanan rehabilitasi trauma untuk pemulihan mental dan emosional layanan ini difasilitasi oleh lembaga seperti UPT PPA Kota Makassar. Pemulihan dilakukan untuk membantu korban mengatasi rasa takut, stres, atau trauma akibat kekerasan seksual.

Selain itu penyidik juga memastikan korban tidak dikucilkan oleh masyarakat dengan memberikan edukasi kepada keluarga dan lingkungan sekitar korban saat proses penyidikan. Penyidik memberikan pemahaman kepada saksi maupun keluarga korban agar kekerasan seksual tidak lagi kembali terjadi di lingkungan korban

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dan Anak Di Kota Makassar.

Pada tabel 1 menunjukkan jumlah kasus yang berhasil diselesaikan hingga ke tahap pengadilan, namun jumlah tersebut lebih rendah dibanding dengan jumlah laporan yang masuk, ini disebabkan adanya faktor-faktor yang menghambat upaya penanggulangan kekerasan seksual oleh penyidik yaitu berupa faktor internal dan eksternal:

  1. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor -faktor penyebab yang berasal dari dalam institusi atau individu penyidik sendiri:

  1. Kuantitas penyidik Unit PPA

Kuantitas penyidik merupakan jumlah atau ketersediaan penyidik pada suatu institusi penegak hukum yang bertugas menangani dan menyelesaikan kasus tindak pidana termasuk tindak pidana kekerasan seksual.

Tabel 2 Data Jumlah Personil pada Unit 4 Subdit 2 PPA Polda Sul-Sel

No. Personil Jumlah
1 Polisi Laki-laki 5
2 Polisi Wanita 3
Jumlah 8

Sumber Data: Ditreskrimum Polda Sul-Sel Tahun 2024

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kanit 4 Subdit 2 PPA Polda Sul-Sel menjelaskan bahwa pada penanganan kasus kekerasan seksual, jumlah penyidik masih terbilang sangat kurang dibanding dengan kasus yang masuk tiap harinya. Jumlah penyidik yang sangat kurang tentunya menjadi penghambat dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana kita ketahui kasus ini sering kali rumit dan memakan waktu lebih lama karena membutuhkan perhatian khusus. Terlebih lagi pada kasus kekerasan seksual yang penanganannya membutuhkan Polisi Wanita (Polwan) dikarenakan kasus kekerasan seksual sering kali melibatkan situasi yang sangat sensitif dan traumatis bagi korban, yang mana korbannya merupakan perempuan dan anak maka penting untuk memastikan penanganan yang empatik, aman, dan nyaman sesuai dengan Pasal 22 UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menyebutkan:

“Penyidik, penuntut umum, dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap Saksi/Korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi Korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual”

Namun seperti yang tercatat pada tabel 2, unit ini justru hanya memiliki 3 orang Polisi wanita dan 5 orang Polisi laki-laki. Padahal banyak kasus membutuhkan pendampingan korban pada proses wawancara hingga ke tahap pengadilan. Sehingga jika jumlah penyidik terbatas, satu penyidik dapat menangani banyak kasus sekaligus dan menyebabkan beban kerja berlebih ini mengakibatkan kurangnya efektivitas dalam penyelesaian kasus.

  1. Kualitas Penyidik

Dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual dibutuhkan penyidik yang memiliki kemampuan dan keterampilan khusus dalam menangani kasus. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menyatakan bahwa penyidik tindak pidana kekerasan seksual harus memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban dan telah mengikuti pelatihan terkait penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual. Pelatihan ini sangat penting dilakukan karena dalam penanganan kasus ini di perlukan kepekaan penyidik agar tidak menyebabkan korban merasa disalahkan ataupun diabaikan.

Namun menurut Kanit 4 Subdit 2 PPA Polda Sul-Sel menyatakan bahwa sangat kurang penyidik yang dapat menangani kasus kekerasan seksual karena hanya penyidik yang mempunyai kompetensi, pelatihan, dan pengalaman tertentu yang dapat menangani kasus-kasus sensitif seperti ini. Pada unit ini, hanya beberapa dari penyidik yang memiliki kemampuan dan keterampilan disebabkan jarangnya diadakan pelatihan khusus serta pelatihan khusus yang diadakan biasanya hanya memberikan pelatihan penanganan kekerasan seksual secara umum dan pelatihan ini hanya berlangsung selama 2-3 hari. Penyidik menganggap pelatihan yang diberikan kurang efektif sehingga penyidik hanya mengandalkan pengalaman yang mereka punya.

  1. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana dapat menjadi faktor penghambat dalam upaya penanggulangan kekerasan seksual disebabkan kasus ini melibatkan bukti digital seperti pesan teks, email, atau rekaman video. Maka dari itu penyidik memerlukan sarana elektronik untuk menganalisis bukti tersebut dan juga dibutuhkan untuk penghapusan konten bermuatan seksual yang merupakan hak korban. Sarana elektronik juga diperlukan untuk melakukan pemeriksaan Saksi atau Korban melalui perekaman elektronik baik secara langsung maupun melalui sarana elektronik dari jarak jauh.

Sedangkan menurut keterangan dari penyidik yang menangani kasus kekerasan seksual menyebutkan bahwa perangkat keras seperti laptop masih sangat kurang sehingga mereka biasanya menggunakan perangkat pribadi. Penyidik membutuhkan perangkat keras seperti laptop untuk menyusun laporan seperti laporan polisi (LP), berita acara pemeriksaan (BAP), atau berkas perkara (P21) selain itu juga digunakan untuk menyimpan bukti, dan mengakses data secara cepat. Sehingga ini juga menjadi hambatan penyidik jika sarana dan prasarana tidak memadai.

  1. Biaya Operasional

Biaya operasional yang tidak cukup menjadi faktor hambatan oleh penyidik disebabkan biaya yang disediakan tiap tahunnya tidak cukup untuk menangani banyaknya kasus yang terlapor. Kekurangan anggaran tentunya berdampak negatif pada proses penyidikan, termasuk pengumpulan bukti, pendampingan korban, hingga pelaksanaan proses hukum yang optimal sesuai dengan undang-undang.

dibutuhkan lebih banyak biaya operasional untuk menangani kasus ini dikarenakan banyak kasus yang terlapor dan kadang proses penyidikan dilakukan di luar wilayah tempat terlapor sehingga membutuhkan biaya tambahan seperti transportasi korban, saksi, dan penyidik, serta akomodasi selama proses penyidikan berlangsung.

2 . Faktor eksternal

Faktor eksternal yang menyebabkan terhambatnya upaya penanggulangan kekerasan seksual oleh penyidik melibatkan hal- hal di luar kendali penyidik. Faktor-faktor ini dapat memengaruhi proses penyelidikan, penanganan kasus, dan penyelesaian kasus. Berikut merupakan faktor eksternal yang memengaruhi upaya penanggulangan kekerasan seksual:

  1. Partisipasi Masyarakat

Setiap warga masyarakat atau kelompok diharapkan mempunyai kesadaran hukum. Masyarakat yang sadar hukum akan mendukung penegakan hukum dengan memberikan kontribusi kepada aparat hukum, seperti melaporkan tindak kejahatan atau menjadi saksi dalam proses hukum.

Namun pada banyaknya kasus yang terlapor justru tidak dapat diselesaikan karena warga masyarakat ataupun kelompok tertentu memilih untuk tidak terlibat ketika terjadi tindak pidana kekerasan seksual. Mereka khawatir akan keselamatan diri sendiri ataupun keluarga jika mereka terlibat, ini dipengaruhi oleh adanya ancaman oleh pelaku yang memiliki kekuasaan ataupun merupakan orang yang berpengaruh. Selain itu orang terdekat seperti teman atau keluarga sering kali enggan untuk ikut terlibat karena merasa kejadian tersebut merupakan masalah yang bersifat internal dan merupakan aib sehingga mereka hanya memberikan keterangan yang terbatas dan lebih parahnya mereka menolak untuk menjadi saksi.

Hal ini tentunya mempersulit proses penyidikan, kurangnya partisipasi masyarakat dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan bukti atau menemukan pelaku. Proses hukum pun menjadi lebih lambat, yang dapat memengaruhi kredibilitas sistem hukum.

  1. Kurangnya bukti

Diperlukan bukti-bukti oleh penyidik dalam melakukan penyelidikan. Alat bukti ini telah diatur pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Alat bukti ini diperlukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Akan tetapi dalam proses pengumpulan bukti biasanya kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak tidak disaksikan oleh orang lain selain korban sendiri sehingga menghambat proses pengumpulan bukti. Padahal keterangan saksi merupakan bagian yang penting untuk mengetahui lebih pasti peristiwa tersebut. Terkadang saksi juga tidak dapat hadir disebabkan tidak berdomisili di tempat kejadian tersebut terjadi, sehingga penyidik biasanya terhambat dalam menemukan saksi yang ditunjuk oleh korban.

Tidak hanya kekurangan saksi, biasanya korban juga kesulitan menceritakan kronologi kejadian dengan jelas disebabkan merasa malu dan mengalami trauma yang mendalam yang menyebabkan sulitnya penyidik mengidentifikasi pelaku. Sebagian korban yang melaporkan kejadian tersebut juga tidak memiliki bukti seperti visum dikarenakan korban terlambat melaporkan kasusnya sehingga luka yang dapat dijadikan bukti kuat oleh korban sudah tidak terdeteksi ataupun hasilnya sudah tidak akurat, sehingga penyidik harus berusaha mencari bukti lain dikarenakan perlu dilengkapinya alat bukti untuk melanjutkan penyidikan. Hambatan lain dari korban juga berupa korban atau pelapor tidak ingin melanjutkan perkara sehingga kasus tidak dapat diselesaikan apalagi kasus kekerasan seksual merupakan delik aduan.

Selain hambatan dari korban adapun hambatan dari pelaku yaitu pelaku ataupun terlapor tidak hadir saat dipanggil. Kehadiran pelaku diperlukan untuk memberikan keterangan, menyusun berita acara pemeriksaan (BAP), dan menentukan langkah yang diambil penyidik untuk memproses kasus lebih lanjut. Tanpa keterangan dari pelaku, proses penyidikan menjadi lebih lama terlebih lagi jika pelaku dengan sengaja kabur. Jika pelaku terus tidak hadir, penyidik harus mengeluarkan pemanggilan ulang atau bahkan melibatkan upaya paksa, yang memerlukan waktu dan sumber daya tambahan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kota makassar yang dilakukan oleh Unit PPA Polda Sul-Sel yaitu berupa upaya pre-emtif, preventif, dan upaya represif. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penanggulangan yang dilakukan oleh penyidik berupa faktor eksternal dan internal yang meliputi kurangnya kuantitas dan kuaitas penyidik, kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya biaya operasional, kurangnya alat bukti, serta kurangnya partisipasi masyarakat. Rekomendasi penelitian ini, untuk menanggulangi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di kota Makassar diharapkan Ditreskrimum Polda Sul-Sel agar menambah jumlah personil pada unit PPA khususnya Polwan. Diharapkan pemerintah meningkatkan alokasi dana untuk menangani kasus kekerasan seksual. dan diharapkan dilakukan sosialisasi rutin kepada masyarakat agar terciptanya masyarakat dengan kesadaran hukum yang tinggi.

References

  1. R. P. A. K. &. M. N. F. Gultom, “Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Anak Berdasarkan Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak.,” Journal of Lex Generalis (JLS), vol. 2, no. 9, p. 2378–2491, 2021.
  2. D. A. RI, Al-Qur’an terjemahannya., Solo: PT Tiga Serangakai Pustaka Mandiri, 2008.
  3. R. Lallo, “Selama 2023, Kekerasan Seksual Anak dan Perempuan di Makassar Capai 558 Kasus 7 December 2023. https://rakyatsulsel.fajar.co.id/2023/12/07/selama-2023-kekerasan-seksual-anak-dan-perempuan-di-makassar-capai-558-kasus/,” rakyatsulsel.fajar.co.id, 2023. [Online]. [Diakses 7 Desember 2023].
  4. S. &. M. N. F. Sutiawati, “Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Makassar.,” Jurnal Wawasan Yuridika, vol. 4, no. 1, p. 17, 2020.
  5. R. P. A. K. &. M. N. F. Gultom, “Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Anak Berdasarkan Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak.,” Journal of Lex Generalis (JLS), vol. 2, no. 9, p. 2378–2491, 2021.
  6. A. R. Hambali, “Penegakan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice Penyelesaian Perkara Tindak Pidana.,” Kalabbirang Law Journal, vol. 2, no. 1, pp. 69-77, 2020.
  7. p. 1. W. Wawancara dengan Ipda Riski Mulasari, Interviewee, [Wawancara]. 22 Oktober 2024.
  8. p. 1. W. Wawancara dengan AKP Ramdan Kusuma, Interviewee, [Wawancara]. 22 Oktober 2024.
  9. M. p. 1. W. Wawancara dengan Briptu Muh. Yunus S.H., Interviewee, [Wawancara]. 22 Oktober 2024.