Abstract

This study aims to determine and analyze the Effectiveness of Electronic Trial Implementation at the Makassar State Administrative Court and to determine and analyze the Factors that Influence the Effectiveness of Electronic Trial Implementation at the Makassar State Administrative Court. In this study, legal regulations and the reality in the field will be analyzed to provide answers to the questions raised. This study uses an empirical legal research method, with the research location in Makassar City and its location at the Makassar State Administrative Court. Data were collected through interview techniques and literature studies, which were then analyzed descriptively analytically. The results of the study indicate that the Effectiveness of the Implementation of Supreme Court Regulation Number 1 of 2019 Concerning Electronic Case Administration and Trials in Court (Case Study at the Makassar State Administrative Court) has not been fully effective because there are still many obstacles that hinder the implementation of electronic trials. Coupled with the settlement of cases from year to year experiencing fluctuating data. This is due to one of the factors that greatly influences, among others, the infrastructure factor, namely the network which still often experiences disruptions. As a recommendation, In order to improve the effectiveness of the implementation of electronic trials at the Makassar State Administrative Court in accordance with the Supreme Court Regulation with the intent and purpose of the government, it is necessary to add and update facilities and infrastructure, especially those related to the network. The government also needs to hold special training for judges and advocates so that law enforcers become more professional and the government needs to conduct socialization to the public about the importance of technology at this time.

 

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Efektivitas Pelaksanaan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan Tata Usaha Negara Makasaar dan untuk mengetahui dan menganalisis Faktor-faktor yang memengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Di dalam penelitian ini peraturan hukum dan kenyataan di lapangan akan dianalisis untuk memberikan jawaban atas persoalan yang diajukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, dengan lokasi penelitian di Kota Makassar dan tempatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara dan studi Pustaka, yang kemudian dianalisis secara deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara Dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik (Studi Kasus Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar) belum sepenuhnya efektif di karenakan masih banyak kendala yang menghambat jalannya persidangan elektronik. Ditambah dengan penyelesaiaan perkara dari tahun ke tahun mengalami data yang fluktuatif. Hal ini disebabkan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi antara lain faktor sarana prasarana yaitu jaringan yang masih sering mengalami gangguan. Sebagai rekomendasi, Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan persidangan elektronik di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar agar sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung dengan maksud dan tujuan pemerintah perlu menambah dan memperbaharui sarana dan prasarana tertutama yang berkaitan dengan jaringan. Pemerintah juga perlu mengadakan pelatihan khusus kepada hakim dan advokat agar penegak hukum menjadi lebih professional serta pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya teknologi pada saat ini.

Deasy Yuni Pratiwi, Askari Razak, Rizki Ramadani

Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia

Surel Koresponden:

PENDAHULUAN

Perkembangan Teknologi Informasi yang sangat cepat tersebut juga merambah ke dunia hukum, karena pada dasarnya “hukum adalah masyarakat itu juga”, sehingga hubungan-hubungan masyarakat baru akan membentuk peraturan baru. Laju perkembangan teknologi informasi dalam Peradaban Uber ini tentu berpengaruh pada Mahkamah Agung. Jika sebelumnya pengadministrasian perkara dilaksanakan secara manual yang memakan waktu lama dan biaya tinggi, teknologi informasi telah mempercepat, mempermudah dan mempermurah biaya pengadministrasian perkara di lingkungan Mahkamah Agung. Pemerintah bersama-sama dengan DPR berupaya untuk mencegah dampak buruk dari semakin berkembangnya teknologi informasi telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan Teknologi Informasi, Mahkamah Agung dan Pengadilan di bawahnya telah menggunakan Teknologi Informasi guna membantu kinerja peradilan.

E-Court merupakan salah satu bentuk implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), sebagaimana tergambar dalam Peraturan Mahkamah Agung 1/2019 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Mahkamah Agung 7/2022. Administrasi perkara secara elektronik adalah serangkaian proses penerimaan gugataan/permohonan/keberatan/bantahan /perlawanan/intervensi/, penerimaan pembayaran, penyampaian panggilan/pemberitahuan, jawaban replik, duplik, kesimpulan, penerimaan upaya hukum, serta pengelolaan, penyampaian, dan penyimpanan dokumen perkara perdata/perdata agama/tata usaha militer/tata usaha negara denganmenggunakan system elektonik. Adapun yang dimaknai sebagai persidangan secara elektronik adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Persidangan ini berlaku untuk proses persidangan dengan cara penyampaian gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, dan pengucapan putusan/penetapan dan upaya hukum banding Pengaturan administrasi perkara dan persidangan secara elektronik dalam PERMA 7/2022 tentang perubahan atas PERMA 1/2019, berlaku pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding untuk jenis perkara perdata, perdata khusus, perdata agama, tata usaha militer, tata usaha negara.

Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan pembaruan guna mengatasi kendala dan hambatan dalam proses penyelenggaraan peradilan. Maka dari itu perlu adanya terobosan baru yang dipadukan dengan kecanggihan teknologi zaman sekarang. Bagi masyarakat sekarang, teknologi informasi dankomunikasi merupakan suatu religion. Pengembangannya dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Sementara orang bahkan memuja hal tersebut sebagai liberator yang akan membebaskan mereka dari kungkungan kefanaan dunia. Selain itu, hal tersebut juga diyakini akan memberi umat manusia kebahagiaan dan imortalitas. Sumbangan teknologi informasi dan komunikasi terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri. Penyelenggaraan peradilan Indonesia didasarkan pada asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Asas tersebut tegas disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana mengandung arti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat merupakan asas yang bersifat universal dan berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas cepat terkenal dengan adagium justice delayed justice denied, yang bermakna proses peradilan yang lambat tidak akan memberi keadilan kepada para pihak.

Sehingga dengan asas tersebut, proses peradilan dapat sesegera mungkin memberikan keadilan dan kepastian hukum. Sebab, persoalan waktu penanganan suatu perkara telah menjadi isu yang hampir dialami oleh semua lembaga peradilan diseluruh dunia. Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menggariskan bahwa pengadilan harus mampu menjadilembaga yang menyokong para pencari keadilan, serta berupaya menangani segala hambatan serta rintangan demi tercapainya asas peradilan yang cepat, yang sederhana, serta biaya ringan. Sebab, kebanyakan masyarakat merasa kesulitan untuk berproses di pengadilan karena prosesnya yang sangat berbelit–belit dan memakan waktu yang lama. Padahal sebagai bagian yang penting dalam proses mengadili sampai pada putusan terjadi pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara. Meskipun penilaian tersebut masih bersifat prematur, tetapi pada akhirnya akan meruntuhkan eksistensi hukum dan lembaga peradilan itu sendiri, seolah-olah keadilan sangat sulit diakses oleh masyarakat. Mirisnya, situasi tersebut kadang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan masalah hukumnya secara terburu-buru, seperti main hakim sendiri, civil disobedience ataupun persekusi. Tanggapan bahwa kekerasan merupakan solusi dalam penyelesaian masalah dimana apabila anggapan tersebut diyakini oleh salah satu pihak maka hal ini bisa berbahaya karena sesuatu yang berkembang dari sisi internal manusia, ada waktunya akan bermetamorfosis menjadi suatu konsep dalam memahami berbagai fenomena sosial disekitarnya. Saat ini seluruh peradilan di Indonesia telah mulai melakukan inisiatif dan inovasi pelayanan, seperti pendaftaran perkara secara online, delegasi bantuan secara online, hotline pengaduan, dan lain sebagainya. Tepat pada tahun 2018, tercipta sebuah ide gagasan dan terobosan dengan memanfaatkan teknologi informasi, dan secara perlahan-lahan mengubah proses administrasi peradilan dari system analog menjadi sistem digital dengan mengaplikasikan digitalisasi perkara melalui system electronic court (e-court).

Sehingga keberadaan sistem e-court yang telah menjadi kebijakan Mahkamah Agung dan yang telah diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik perlu didukung dalam pelaksanaannya. Tetapi, sebagai kebijakan yang relatif masih baru, maka tentu masih membutuhkan penyesuaian dan penyempurnaan, serta mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengaplikasiannya. Seperti ketersediaan perangkat teknologi, kesiapan sumber daya manusia hingga pengaturan hukum acara yang masih menentukan penanganan perkara secara manual. Dinas Komunikasi dan Informatika (DISKOMINFO) Makassar memastikan pemerataan jaringan di wilayah kepulauan dengan melakukan monitoring langsung ke sejumlah pulau di wilayah Kota Makassar. Hasil dari pendataan dan monitoring ini akan digunakan sebagai dasar untuk pengajuan ke Kemenkominfo agar pembangunan infrastruktur jaringan di wilayah kepulauan segera dilakukan. Data yang dikumpulkan akan diajukan ke pusat untuk ditindaklanjuti, dengan harapan proses ini berjalan cepat agar masyarakat kepulauan bisa segera menikmati jaringan yang lebih baik. Kualitas jaringan di Pulau Barrang Caddi masih kurang baik dan hanya kuat di titik-titik tertentu saja. Hal ini menyebabkan masyarakat membutuhkan akses internet yang lebih baik untuk berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan dan Kesehatan.

Patut diperhatikan bahwa persidangan secara elektronik memerlukan adanya manusia yang adil dan jujur. Serta kondisi dan waktu yang baik agar persidangan secara elektronik ini berjalan dengan baik. Sebagaimana firmannya dalam Alquran al-karim, pada QS. An-Nisa Ayat 135, QS. Al-Maidah: 8, dan QS. Al An’am: 114.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْر

ا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa ayat 135).

Berangkat dari uraian tersebut pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana jika penerapan persidangan secara elektronik ini yang diterapkan pada Pengadilan Tata usaha Negara Makassar tidak berjalan secara baik? Implementasi persidangan secara elektronik terbitnya Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2019 patut untuk diteliti. Sekaligus untuk melihat seperti apa kendala yang mempengaruhi efektifitas penerapannya. Atas dasar itu, penulis mengangkat sebuah penelitian dengan judul “Analisis Efetivitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara Dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik”.

METODE

Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum empiris, yakni penelitian yang dilakukan melalui studi lapangan. Dalam penelitian ini dikumpulkan data dari sejumlah responden yang kemudian diolah sesuai dengan teknik analisis yang dipakai, lalu dituangkan dalam bentuk deskriptif guna memperoleh gambaran kondisi sebenarnya dari hukum sebagai kenyataan sosial. kegiatan penelitian di Lokasi Kota Makassar. Tempat penelitian ini pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar (PTUN Makassar). Pemilihan lokasi ini didasarkan pada alasan obyektif, yakni berdasarkan kegiatan pra-penelitian, diketahui terdapat sejumlah kasus atau masalah terkait Persidangan Secara Elektronik (e-court) yang masih di terapkan hingga sekarang. Atas dasar itu, sejumlah data dan informasi yang ada akan sangat relevan dengan penelitian ini. populasi dalam penelitian ini tertuju pada Hakim dan Advokat di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Penelitian ini mengambil sampel berdasarkan Teknik purposive sampling, yakni para Hakim dan Advokat yang secara langsung pernah melakukan Persidangan Secara Elektronik, untuk kemudian menjadi responden/narasumber penelitian yang terdiri dari: Dua orang Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar; Dua orang Advokat yang menangani kasus Persidangan Secara Elektronik pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar; Dua Staff yang menangani Persidangan Elektronik pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Sebagai penelitian hukum empiris, studi ini menggunakan dua jenis data, yakni data primer dan sekunder. penelitian hukum empiris memadukan antara penelitian kepustakaan (library research) dengan data lapangan. Berdasarkan hal ini, maka metode yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi: studi Pustaka (literatur review) dan wawancara (indepth interview). Analisis kualitatif dilakukan terhadap data yang tidak dapat dikuantifikasikan, seperti hasil penelusuran Pustaka dan data hasil wawancara. Analisis data disajikan dalam bentuk penjelasan yang bersifat deskriptif analitis.

HASIL

Tabel 1. Data Pelaksanaan Persidangan Elektronik Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

NO. Tahun Jumlah Perkara Berhasil Gagal
Jumlah % Jumlah %
1. 2018 15 4 26,7 11 73,3
2. 2019 131 36 27,5 95 72,5
3. 2020 112 51 45,5 61 54,5
4. 2021 98 40 40,8 58 59,2
5. 2022 146 60 41,1 86 58,9
6. 2023 117 58 49,6 59 50,4
7. 2024 97 43 44,3 54 55,7
Jumlah 716 292 40,8 424 59,2

Sumber: .

PEMBAHASAN

Efektivitas Pelaksanaan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi yang bertujuan menciptakan aspek ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warganya. Hal ini sesuai dengan arahan Undang-Undang Dasar yang menjamin kehidupan rakyat Indonesia dengan keadilan, utuh dan berdaulat. Namun konsekuensi dari itu semua ialah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat. Di samping itu, di Indonesia terdapat Pancasila. Hal ini bermakna bahwa Pancasila sebagai rule of law yang menjadi pedoman Indonesia dalam berbagai aspek yang harus dipatuhi serta dijalankan oleh warga negaranya. Lebih dari itu, Pancasila juga menjadi pedoman penegakkan hukum sebagaimana yang terdapat pada sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Indonesia merupakan negara yang menjadikan aspek hukum sebagai landasan keadilan dan kesejahteraan sebagai prioritas utama dalam mengayomi permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu lembaga yang menjadi tempat untuk memberikan rasa keadilan di masyarakat ialah Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Pengadilan Tata Usaha Negara makassar telah menjalankan persidangan secara elektronik sesuai dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Kebijakan hukum yang mengatur mengenai Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 berfungsi sebagai memberikan keadilan dan kepastian hukum berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar belum maksimal karena masih banyak kendala seperti gangguan server di Mahkamah Agung yang sangat mempengaruhi waktu pelayanan pencari keadilan bagi masyarakat. Sehingga tujuan utama dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 ini belum tercapai dalam memberikan pelayanan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini sebagai mana disampaikan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Bapak Andi Jayadi Nur. Hal yang sama disampaikan oleh, Muh. Fauzi Ashary selaku Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar berpendapat bahwa pada prinsipnya pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 ini masih terdapat banyak kendala khususnya pada agenda sidang penyampaian jawaban dari tergugat/penggungat biasa di tunda selama 1 (satu) pekan.

Berdasarkan wawancara lebih lanjut dengan Hakim Ida Faridha selaku Hakim Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar mengatakan salah satu hal yang belum maksimal dalam pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar untuk menu pendaftaran perkara prodeo dalam E-Court belum ada dikarenakan belum di atur semaksimal mungkin pada halaman E-Court. Hal ini diakui sendiri dari sumber Pengadilan Tata usaha Negara Makassar dalam wawancara, dimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik ini kurang efektif atau belum optimal karena masih banyaknya kendala yang harus di perbaiki agar tujuan dari Peraturan Mahkamah Agung ini dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa penyelesaian perkara melalui persidangan elektronik di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar pada tahun 2018 dari 15 perkara hanya sebanyak 4 perkara dengan persentase 26,7% yang berhasil dan 11 perkara yang dengan persentase 73,3% yang gagal. Pada tahun 2019 ada sebanyak 131 perkara, dari jumlah tersebut hanya 36 perkara dengan persentase 27,5% yang berhasil dan 95 perkara dengan presentase 72,5% yang gagal. Pada tahun 2020 dari 112 perkara hanya 51 perkara dengan persentase 45,5% yang berhasil dan 61 perkara dengan persentase54,5% yang gagal. Pada tahun 2021 dari 98 perkara hanya 40 perkara dengan persentase 40,8% yang berhasil dan 58 perkara dengan persentase 59,2% yang gagal. Pada tahun 2022 dari sebanyak 146 perkara hanya 60 perkara dengan persentase 41,1% yang berhasil dan 86 perkara dengan persentase 58,9% yang gagal. Pada tahun 2023 dari 117 perkara hanya 58 perkara dengan persentase 49,6% yang berhasil dan 59 perkara dengan persentase 50,4% yang gagal. Pada tahun 2024 dari 97 perkara hanya 43 perkara dengan jumlah persentase 44,3% yang berhasil dan 54 dengan jumlah persentase55,7% perkara yang gagal. Dari jumlah perkara persidangan elektronik di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar mulai diterapkannya hingga sekarang terdapat 716 perkara. Perkara yang berhasil sebanyak 292 perkara dengan jumlah persentase 40,8% dan yang gagal sebanyak 424 perkara dengan jumlah persentase 59,2%. Hal ini di lihat dari sisi gugatan yang masuk melalui persidangan elektronik banyak yang di tolak atau gagal disebabkan oleh beberapa kendala seperti jaringan yang menghambat, dan masyarakat yang belum mengerti proses pelaksanaan persidangan elektronik. Sehingga dapat dikatakan bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomo 1 Tahun 2019 belum maksimal karena masih ada beberapa kendala yang menghambat pelaksanaannya.

Faktor Yang Memengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

Untuk mengukur efektivitas hukum dari implementasi aturan yang dikeluarkan, teori Soerjono Soekanto sangat mudah dipahami dan direlevansikan kepada permasalahan-permaslahan yang terjadi. Soerjono Soekanto menerangkan faktor-faktor yang dapat menjawab efektif tidaknya suatu negara hukum. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu penegakan hukum yang mencakup: 1) Faktor Hukum, 2) Faktor Penegak Hukum, 3) Faktor sarana dan prasarana, 4) Faktor Masyarakat dan 5) Faktor Budaya. Selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomo 1 Tahun 2019 akan ditinjau dari sisi kelima aspek tersebut.

Faktor Hukum

Pada dasarnya suatu peraturan hukum yang ideal adalah hukum yang dapat memenuhi tujuan hukum salah satunya adalah kepastian (legal certainty). Aspek kepastian hukum menekankan agar hukum tersebut wajib dijalankan oleh pihak pemerintah dan aparaturnya, serta dipatuhi oleh pihak masyarakat. Aspek kepastian hukum juga penting untuk menjamin agar tidak terjadi kekosongan hukum atau perbuatan yang sewenang-wenang. Dari sisi kepastian hukum, kebijakan hukum yang mengatur mengenai Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2019. Namun demikian substansi yang tertuang dalam PERMA tersebut belum sepenuhnya memberikan kejelasan bagi tata laksana kebijakan. Sehingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 mengalami perubahan yaitu Peraturan Mahkamah Agung No 7 Tahun 2022 yang isinya lebih lengkap hingga mengatur mengenai Peninjauan Kembali (PK) dan Kasasi. Lain halnya dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 hanya mengatur Peradilan Tingkat 1 dan Banding. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Bapak Andi Jayadi Nur. Kekurangan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 sudah di atur pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 seperti banding, kasasi, Peninjauan Kembali, perkara prodeo dan layanan pembayaran biaya perkara bisa dilakukan melalui audivisual hingga prosedur pemanggilan para pihak yang berada di luar negeri telah di atur. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Ibu Ida Faridha selaku Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Kekurangan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 lainnya juga dikemukakan oleh seoarang advokat yang Bernama Muh. Fauzi Ashary. Pengalaman yang sama juga disampaikan oleh Muh. Makir yang baru-baru ini berhasil menuntaskan perkara melalui persidangan secara elektronik. Berdasarkan wawancara dengan responden lainnya, dapat disimpulkan bahwa Substansi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 pada prinsipnya belum membuat koordinasi lengkap dan jelas hal ini menyebabkan karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tidak futuristik atau dengan kata lain tidak berdaptasi dan bersifat lemah karena tidak memikirkan perkembangan kedepannya.

Faktor Penegak Hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan Kembali terpidana.

Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Hal tersebut juga di setujui dari sisi aparat penegak hukum, salah satu persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik adalah masih adanya penegak hukum yang belum paham tentang persidangan elektronik ini. Seperti yang dikemukakan oleh Muh. Makir. sebagai Advokat yang sudah lama beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.

Di sisi lain Kecurangan yang dapat terjadi itu ketika hakim melakukan penundaan selama 1 hingga 2 pekan dalam acara pembacaan putusan. Hal tersebut sangat sering terjadi ketika hakim belum selesai dalam bermusyawarah. Hal ini memicu advokat untuk merasakan ketidakadilan dalam pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Hal ini diakui oleh Muh. Fauzi Ashary. Jika di lihat dari sisi penegak hukum lainnya yaitu seorang hakim. Jika kecurangan dalam pengupload-an dokumen persyaratan advokat yaitu kartu tanda anggota tidak memungkinkan terjadi kecurangan karena nantinya akan di minta aslinya di mejelis hakim. Sebagaimana dikemukakan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Bapak Andi Jayadi Nur.

Namun hal yang biasanya dapat terjadi kecurangan yaitu karena di dalam system aplikasi yang di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 itu mewajibkan seluruh pihak mengupload dokumen alat bukti surat yang dimana dapat di akses untuk semua orang. Hal tersebut memicu adanya kecurangan antara pihak tergugat dan penggugat. Keterangan di atas di tambahkan langsung oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Bapak Andi Jayadi Nur. Selanjutnya, Hakim Bapak Andi Jayadi Nur juga mengatakan bahwa penyebab faktor penegak hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar masih belum baik dikarenakan hanya 1 (satu) orang apparat atau staff Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar yang mengerti dan paham degan IT hal tersebut juga sangat mempengaruhi berjalannya persidangan. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 di lihat dari sisi faktor penegak hukum masih ada terjadi kecurangan dan ketidakadilan dari sisi Advokat maupun Hakim yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar.

Faktor Sarana dan Prasarana

Sarana atau fasilitas sangat menentukan dalam penegakan hukum. Tanpa sarana atau fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak akan berjalan lancar dan penegak hukum tidak akan mungkin dapat menjalankan perananya secara baik. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar diketahui bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar sudah mendapatkan sarana dan prasarana yang baik dari pemerintah berupa pemberian genset kepada pengadilan tetapi masih tetap terkendala mengenai jaringan yang sangat sering terjadi hambatan. Hal tersebut di utarakan langsung oleh Bapak Andi Jayadi Nur. Sependapat dengan Hakim Ibu Ida Faridha mengatakan bahwa persoalan jaringan internet dan pengetahuan ilmu IT yang juga mempengaruhi sarana dan prasarana pada pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2019 tentang Administrasi perkara dan persidangan di pengasilan secara elektronik. Advokat Bapak Muh. Makir juga sependapat bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar sudah memiliki alat yang canggih sesuai dengan perkembangan zaman. pada faktor sarana dan prasarana di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar sudah memiliki alat yang canggih seperti genset, jadi pada saat terjadi pemadaman listrik hal tersebut sudah bisa di atasi. Namun jika dilihat dari sisi gangguan jaringan masih sering terjadi kendala pada jaringan yang dapat mengakibatkan hambatan dalam pelaksanaan persidangan elektronik.

Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat, oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut bagian yang terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyrakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik, sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyrakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

Masyarakat harusnya memiliki kesadaran yang lebih tinggi agar pekerjaan yang dilakukan tidak memiliki hambatan seperti dalam hal pengupload-an dokumen yang diberikan rentan waktu 1 minggu tetapi masyarakat belum mengupload nya sehingga rentan waktu yang diberikan sudah habis. Oleh karena itu kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan demi berjalannya pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Muhammad Nasrullah, S.E selaku Staff Administrasi E-Court. Kesadaran masyarakat menjadi salah satu hambatan yang sering terjadi ditambah dengan masyarakat seperti orangtua tidak tahu cara menggunakan aplikasi layanan karena dinilai cukup ribet. Advokat Muh. Makir. misalnya menyatakan. Untuk mengatasi risiko yang terjadi dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penerapan teknologi zaman sekarang, penting untuk memperkuat dan mengadakan sosialisasi kepada masyarakat – masyarakat agar semua orang bisa paham dengan pekrembangan zaman yang tidak bisa luput dari teknologi. Hal ini meliputi pelatihan yang tepat bagi penyelenggara, transparansi dalam proses pengambilan keputusan, serta partisipasi aktif masyarakat dan LSM dalam mengawasi implementasi pelaksanaan persidangan elektronik. Dengan demikian, dapat meminimalkan risiko yang terjadi dan memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan adil dan berintegritas.

Faktor Budaya

Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non material. Kebudayaan mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Oleh karena itu semakin banyak persesuaian antara hukum dengan kebudayaan masyarakat, maka semakin mudah penegakan hukum tersebut. Sebaliknya, apabila suatu peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka semakin sukar untuk melaksanakan atau menegakkan peraturan hukum tersebut. Banyak masyarakat yang belum memahami prosedur persidangan elektronik, sehingga menghambat partisipasi mereka dalam sistem ini.

Di tambah terdapat kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan, yang mempengaruhi akses masyarakat terhadap teknologi informasi. Kualitas jaringan internet yang tidak merata menjadi salah satu penghambat utama dalam pelaksanaan persidangan elektronik. Transisi dari sistem manual ke sistem elektronik memerlukan perubahan signifikan dalam budaya kerja di lingkungan pengadilan. Hal ini mencakup pelatihan dan adaptasi bagi sumber daya manusia untuk dapat mengoperasikan teknologi baru secara efektif. Banyak individu, termasuk para penegak hukum, yang masih gagap teknologi. Ketidakpahaman ini dapat menghambat penerapan sistem persidangan elektronik secara luas, karena ketergantungan pada prosedur tradisional masih kuat. Infrastruktur teknologi yang memadai sangat penting untuk mendukung persidangan elektronik. Tanpa dukungan infrastruktur yang baik, termasuk jaringan internet yang stabil dan perangkat keras yang memadai, pelaksanaan persidangan elektronik akan terhambat. Implementasi persidangan elektronik di Indonesia menghadapi tantangan besar terkait faktor budaya, termasuk pemahaman masyarakat, kesenjangan digital, dan kesiapan sumber daya manusia. Untuk meningkatkan efektivitas sistem ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga peradilan, dan masyarakat untuk membangun budaya hukum berbasis teknologi yang lebih kuat dan inklusif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum, Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 20219 tentang administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar tidak efektif di karenakan masih banyak kendala yang menghambat jalannya persidangan elektronik seperti jaringan yang kurang memadai, penegak hukum yang masih adanya konflik kepentingan dan kesenjangan kompetensi, dan kurangnya kesadaran masyarakat. Ditambah dengan penyelesaiaan perkara dari tahun ke tahun mengalami data yang fluktuatif. Oleh karena itu Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 dapat dikatakan belum optimal. Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 yaitu : 1) Faktor hukum, dimana substansi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 pada prinsipnya belum membuat koordinasi lengkap dan jelas hal ini menyebabkan karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tidak futuristik atau dengan kata lain tidak berdaptasi dan bersifat lemah karena tidak memikirkan perkembangan kedepannya; 2) faktor penegak hukum, dimana masih ada perbedaan persepsi, konflik kepentingan dan kesenjangan kompetensi hakim dan advokat; 3) Faktor sarana prasarana, merupakan faktor yang sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 hal ini disebabkan kendala yang sering terjadi yaitu jaringan yang masih sering mengalami gangguan; 4) faktor masyarakat, dimana kesadaran masyarakat yang minim dengan teknologi zaman sekarang; 5) faktor budaya, yakni pemahaman masyarakat mengenai kesenjangan digital dan kesiapan sumber daya manusia. Untuk mendukung Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019, perlu dilakukan sejumlah hal: 1) Pemerintah perlu mengadakan pelatihan khusus kepada hakim dan advokat agar penegak hukum menjadi lebih professional; 2) Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya teknologi pada saat ini.

References

  1. V. Apeldoorn, “Pengantar Ilmu Hukum,” Jakarta, Pradnya Paramita, 1986, p. 18.
  2. ibid, “Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Era Globalisasi,” 2012, p. 79.
  3. M. Yasin, “Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, https://www.hukumonline.com. biayaringan/,” [Online]. [Diakses 11 Agustus 2024].
  4. M. d. R. Syamsuddin, “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap anak dibawah Umur Pengemudi Kendaraan Bermotor Yang Menyebabkan Kematian,” Alauddin Law Development, vol. 2, no. 1, pp. 20-31, 2020.
  5. Kurniati, “Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” Diskursus HAM dalam Karya Nawal Sa’dawi, al-Daulah, vol. 8, no. 1, pp. 52-61, 2019.
  6. I. Atikah, “Implementasi E-Court dan Dampaknya Terhadap Advokat Dalam Proses Penyelesaian Perkara di Indonesia, Proceeding, Open Society Conference,” 2018, p. 109.
  7. d. Muhammad Adiguna Bimasakti, “Hukum Acara Peradilan Elektronik Pada Peradilan Tata Usaha Negara,” Makassar, Spasi Media Publishing, 2020, p. 183.
  8. A. Sulsel, “Kominfo Makassar memastikan pemerataan jaringan di wilayah pulai,” 2024. [Online]. Available: https://makassar.antaranews.com..
  9. P. D. A. Hana Hanifia Yusrima Latifa Hanum Wahyu Beny Mukti Setiyawan, “Politik Hukum Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia,” Jurnal Ius Constituendum, vol. 30, no. 1, 2019.
  10. A. J. Nur, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 7 Oktober 2024.
  11. M. F. Ashary, Interviewee, Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  12. I. Faridha, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  13. Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
  14. G. A. Nasir, “Kekosongan Hukum & Percepatan Perkembangan Masyarakat.,” JHR (Jurnal Hukum Replik), vol. 5, no. 2, pp. 172-183, 2017.
  15. A. J. Nur, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 7 Oktober 2024.
  16. I. Faridha, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  17. M. F. Ashary, Interviewee, Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  18. M. Makir, Interviewee, Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  19. Soerdjono, “Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indoensia,” 1975, p. 45.
  20. M. Makir, Interviewee, Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  21. M. F. Ashary, Interviewee, Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  22. A. J. Nur, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 7 Oktober 2024.
  23. A. J. Nur, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 7 Oktober 2024.
  24. A. J. Nur, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 7 Oktober 2024.
  25. A. J. Nur, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 7 Oktober 2024.
  26. I. Faridha, Interviewee, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  27. M. Makir, Interviewee, Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.
  28. M. Nasrullah., Interviewee, Staff Administrasi E-Court. [Wawancara]. 17 Oktober 2024.
  29. M. Makir, Interviewee, Advokat yang beracara pada Pengadilan Tata Usaha Negara. [Wawancara]. 15 Oktober 2024.